Mengapa wajahnya terlihat sangat imut ketika tidur dan berubah mengerikan ketika sadar?

"Far, aku percaya bahwa pertemuan kita bukanlah pertemuan biasa. Namun, sampai sekarang, aku belum juga tahu, mengapa Allah menakdirkanku untuk hidup bersamamu. Berat, far." Aku menghela nafas.

"Kamu pikir kamu saja yang tersiksa? Aku juga." Aku terisak di hadapannya sambil memeluk mushafku.

Aku merebahkan badanku tepat di sampingnya, namun, membelakanginya.

Satu hal yang aku percaya. Bahwa Allah tidak mungkin membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

****
"Nak Aufar, Maida, shubuh, nak." Samar-samar aku mendengar suara Umi yang membangunkanku. Aku membuka mata perlahan. Mataku tepat bertatapan dengan mata Aufar yang sepertinya juga baru saja terbuka.

"Astaghfirullahaladzim!" Aku langsung terduduk mengalihkan pandang darinya. Jantungku seakan berdetak sepuluh kali lebih cepat.

"Da?"

"Eh, iya, mi. Maida ambil wudhu dulu." Aku segera keluar dari mushola. Mushola rumah ini memang tidak memiliki pintu, namun lantainya sedikit bertingkat dan di bawahnya dihiasi dengan kolam ikan yang akan membuat orang yang beribadah disitu menjadi nyaman.

Sebelum aku benar-benar pergi berwudhu, Umi berbisik, "Cepet banget baikannya." Aku hanya mendengus lalu berlari k tempat wudhu.
Baikan apanya? Aufar saja tidak pernah sadar bahwa dia menyakiti hatiku.

Setelah berwudhu, aku kembali ke mushola. Umi dan Aufar sedang berbincang-bincang disana. Apa yang mereka perbincangkan hingga tertawa seperti itu?

Tidak kusangka Aufar juga sudah berwudhu, entah dia berwudhu dimana. Yang jelas, wajahnya sudah terkena air.

Fatima yang sudah siap memakai mukena sambil terkantuk-kantuk.

"Nak Aufar bisa jadi imam?" Pertanyaan Umi membuatku melotot seketika. Aufar? Imam? Big NO! Istrinya saja belum pernah di im-

"InsyaAllah bisa, mi." Aku semakin melotot mendengar jawabannya.

"Eh, jangan-jangan. Laki-laki itu baiknya sholat di masjid. Jadi Aufar ke masjid aja."

"Apaan, sih, da. Nak Aufar aja mau kok." Aku terdiam melirik Aufar yang sedang tersenyum kikuk. Dia sungguh pintar mencari perhatian.

Akhirnya, kami sholat dengan di imami oleh pria bernama Aufar. Itu adalah kali pertama dia menjadi imam sholatku, meskipun bukan aku satu-satunya makmumnya.

Sudah Kutebak, dia membacakan surah sejuta ummat. Yaitu surah Al-Ikhlas dan Al-Kautsar. Setidaknya dia hafal surah yang dijuluki sebagai sepertiga Al-Qur'an.

Setelah menolehkan kepala ke kiri. Aufar langsung menyalimi tangan Umi. Dia benar-benar hebat berakting.

Dia juga tidak lupa menyalimi Fatimah lalu mengelus kepalanya. Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahnya. Lalu beberapa saat kemudian tangannya berada di hadapanku.

Matanya sedikit melotot seakan memberi instruksi bahwa aku harus menyaliminya.

Itu adalah kali pertama aku menjadi makmum dan kali kedua menyalimi tangannya setelah akad.

****
"Kamu gak ke kantor?" Tanyaku kepada Aufar yang hanya duduk di meja makan sambil memainkan ponselnya. Pria itu menggeleng. Pasti sedang mengobrol dengan Nanda.

Bi Suni berjalan tergopoh-gopoh ke arahku dan Aufar.

"Bos, ada tamu. Katanya mau bertemu anaknya Pak bos Radit." Aku dan Aufar saling melayangkan pandangan. Tidak biasanya ada tamu yang menanyakan om Radit.

FARWhere stories live. Discover now