“Mau kopi nggak?” tawar Jeffrey ke temen yang duduk di sampingnya.

“Kopi sianida?” tanyanya sinis. Bisa banget Bambang kalau bikin humor gelap.

“Nggak ada sianida. Adanya obat nyamuk. Paling lebih pahit. Jadi mau nggak?” Cara Jeffrey nawarin kopi udah kayak para pelayan kafe yang cekatan dan suka ngomong ke sana ke mari di mana-mana hatiku senang. Sifatnya bikin kesel.

“Di mana kau letakan akhlakmu, monyet?” Bambang ngelempar senyum dan jari tengah, mukanya ikhlas banget.

Jeffrey nggak peduli, dia ngelengos dengan santai sambil makein bando ke rambut gondrongnya. Celana training merah baggy yang dipaduin sama sleeveless hitam ngebuat si bujang merasa seolah-olah dirinya merupakan Kpop Idol yang baru selesai rehearsal. Iya rehearsal, rehearsal otak. Pinter kagak sekarat iya. Meskipun pinter, tapi belajar enggak akan pernah jadi hal yang Jeffrey sukai. Cukup Mbak Nana dan Maudy Ayunda saja yang suka, Jeffrey tidak usah.

Kosan yang Jeffrey tempati memiliki delapan kamar. Bentuknya nggak lurus ngebosenin kayak sel penjara—tapi berkelok kayak rumah dua lantai dengan ruang tengah, dapur, bahkan garasi motor. Kamar Jeffrey ada di lantai dua, di pojok kanan supaya punya balkon meskipun bayarannya sedikit lebih mahal. Di sisi kiri ada kamar Bambang Sanjaya yang lebih sering ngehabisin waktu di kamar miliknya. Alasannya cuma satu: kamar Jeffrey selalu bersih dan rapih. Dua penghuni lantai dua lainnya kuliah di kampus sebelah—Raditya Khalid si buaya bermuka polos merupakan anak Hukum; sementara Gibran Kamil merupakan anak Fakultas Ekonomi yang suka dangdutan siang malem. Kamarnya berisik banget.

Terus di lantai satu ada empat penghuni lain yang sama-sama suka heboh nggak karuan. Skemanya sama kayak lantai atas—bedanya di bawah ada ruang tamu atau ruang tengah buat ngumpul karena ada TV—kamar pojok kanan depan tangga ditempati Kak Doni, anak Arsitektur semester 8 yang selalu pacaran di dalam kamar; di seberangnya ada Windu Bagaskara yang sifatnya sebelah dua belas sama Radit, bedanya Windu punya pacar, Mina selalu dateng ke kosan either buat pacaran atau curhat sambil nangis-nangis di depan penghuni lantai atas—mungkin karena keempatnya jomblo, Jeffrey juga nggak paham dengan kerandoman itu. Terakhir ada Dekis dan Winarto yang masing-masing menempati kamar paling depan.

Semua penghuni lantai satu punya pacar—kadang bikin iri sampai Bambang ngira kalau lantai dua itu kena kutuk yang ngebuat penghuninya pada jomblo. Teman satu jurusannya ini emang percaya sama hal mistis—Jeffrey nggak peduli selama Bambang nggak sampai nyalain menyan di kamarnya. Bukan apa-apa, Jeffrey cuma nggak suka sama baunya. Terlalu menyengat.

“Kak Jeffrey,” suara di belakang sempat ngebuat Jeffrey terlonjak. Anak bungsu pemilik kosan lagi diri di belakangnya, kelihatan cantik dengan kaos putih dan celana jeans baggy yang belakangan lagi jadi gaya favoritnya. “Mau ngasih kopi. Aku beli dua buat kamu.”

“Buat kakak,” Jeffrey ngoreksi. Tangannya terulur buat nerima kopi dari Roseanne Harits yang masang ekspresi cerah sambil melempar senyum gulalinya. Tentu saja, Jeffrey juga ngasih sebuah terima kasih karena usaha Rose buat ngegaet hatinya selalu konsisten.

“Biar aku tebak, berhubung udah jam empat, ini pasti jadi kopi ketiga yang Kak Jeff buat. Kakak ngopi terus, nanti giginya kuning lho.” Rose nunjuk sambil senyum. Bocah manis banget.

“Nih kuning gak nih? Enggak karena diriku rajin membersihkan gigi.”

Niat Jeffrey cuma bercanda saat dirinya nyengir sambil nyondongin badan ke Rose. Tapi si gadis yang baru lulus SMA dan lagi deg-degan nunggu hasil SBMPTN itu malah nangkup muka Jeffrey, narik ke arahnya, terus mengamati mukanya lamat-lamat. Sepasang mata cokelat gelapnya bak lampu kerlap-kerlip yang bikin Jeffrey terpana. Jari-jemarinya terasa lembut. Belum lagi muka cantik dengan warna kemerahan di kedua pipinya berada terlalu dekat—ngebuat jantung Jeffrey berdetak terlalu keras.

The Thing Between UsWhere stories live. Discover now