• Enam •

8 1 2
                                    

Kecipak. Kecipak. Kecipak.

Kedua tangan mungil Baskara tak henti-hentinya mencipratkan air di sekitarnya. Kendati tubuhnya imut nan menggemaskan, tapi tenaganya untuk bermain air ternyata boleh juga.

Ini akan mudah, pikir Tami. Aku akan membawanya ke istanaku dan dia akan aman. Semoga ibu dan ayah tak keberatan dengan keputusanku ini.

"Rasanya seperti ada di kolam renang raksasa, ya?" Tami bertanya sambil membawa bayi itu dengan hati-hati. Keduanya perlahan menjauhi perahu, menyusuri permukaan laut yang hangat.

Pipi bayi itu menggembung. Kedua matanya menyipit. Berenang seperti ini jelas membuatnya senang dan tak keberatan, tapi tetap saja Tami tak bisa membiarkan pakaian Bubu kebasahan. Kulit anak itu juga bisa berkeriput kalau berada di permukaan seperti ini.

"Hmmmph!" Balita itu merasakan asin di mulutnya. Mulutnya sontak tertutup rapat.

Perlahan, luapan emosinya pecah.

"Hu .... hu ... HUWAAA."

Kendati tak mengerti hal yang tengah menimpa, Baskara lebih mudah menangis bila tak ada sang ibu di sisinya.

Kalau sedang menangis seperti ini Baskara tampak begitu rapuh, tak berdaya ... membuat Tami merasa

"Ssst. Hei, hei. Kau tidak sendirian, adik kecil." Tami menekuk tangan sehingga Baskara berada semakin dekat dengannya. Bayi itu menangis semakin keras dengan alasan yang tak dimengerti oleh Tami. Gadis itu berpikir mungkin bayi satu ini merindukan sang ibu.

Mulut Baskara terbuka, mengakibatkan dot berwarna biru terlepas dari mulutnya. Kali ini Tami sigap-ia mengambilnya dan menyelipkan jari pada cincin dot itu.

"Biar aku saja yang memegang benda ini, ya? Sebentar lagi kita akan menyelam."

Tangis Baskara masih saja pecah. Air mata mengaliri pipi tembamnya.

Blubbb.

Tubuh keduanya masuk ke dalam air. Permukaan air berada beberapa senti di atas kepala mereka. Masih menutup mata, Baskara belum menyadari apa yang terjadi di padanya.

Baju dan celana miliknya perlahan mengering. Pun tak lagi dikelilingi air asin. Napasnya terasa lebih ringan, begitu pula dengan tubuhnya. Tiada pijakan, tiada pula tangan seorang lain pun menyentuh tubuhnya.

Bayi itu mengangkat kelopak mata. Detik kemudian, sedu sedannya hilang.

Baskara berada di dalam perairan, tetapi tubuhnya dikelilingi oleh sebuah gelembung udara. Bentangan warna biru menyambutnya. Sekelompok ikan kecil berenang melintas dengan gerakan tenang sekaligus anggun. Warnanya perak, sedikit berkilau dan sungguh menarik perhatiannya.

"Bubububbbu!" Baskara tersenyum sambil menunjuk sekelompok ikan yang baru saja lewat.

Tami tersenyum. Sebetulnya haru, karena bukan hanya sihir-gelembungnya berhasil tapi juga ia dapat mengalihkan perhatian Baskara sepenuhnya.

"Bagaimana, adik kecil? Kau suka ini? Aku akan memastikan kau tidak keberatan untuk menyelam lebih dalam lagi."

"Ahak! Abufff." Mata Baskara semakin membulat. Pandangannya memutar. Ia lanjut berceloteh ketika sekelompok ikan lain berenang dengan kecepatan yang lumayan.

Tanpa balita itu sadari, gelembungnya digerakkan oleh Tami sehingga mereka kian menjauhi permukaan air. Satu meter ... tiga meter ... lima meter ....

"Oh ya, aku belum tau namamu. Bagaimana aku harus memanggilmu?"

Baskara yang sejak tadi sibuk menyisir pandangan seakan menjawab, "Buuu."

Tami menelan ludah. Astaga. Maksud anak ini, ibunya? Ia ingin dipertemukan dengan ibunya? Wajar sih, tapi bagaimana kalau-

Bubu dan Penjelajahan TirtawangsaWhere stories live. Discover now