• Satu •

47 10 26
                                    

Ini sama sekali bukan semacam perjalanan yang dipersiapkan secara matang.

Seharusnya, bila kau berencana meninggalkan sebuah pulau dan beranjak ke pulau lain, kau hanya perlu membeli tiket kapal feri (tanpa kendaraan yang turut dibawa semestinya harga tiket akan lebih murah). Hal selanjutnya adalah bersiap-siap dan menunggu sesuai jadwal keberangkatan. Uang perbekalan sudah pasti turut dipersiapkan, kalau-kalau ingin membeli minuman atau makanan selama di perjalanan. Hal terakhir, duduk manis dan menikmati pemandangan adalah hal yang mutlak didapatkan.

Sayangnya semua itu tak berlaku bagi wanita yang biasa dipanggil 'Ibu Mega'. Bukan. Bukan karena anak dari ibu itu bernama Mega, tapi nama ibu itu adalah Mega. Semenjak kemarin ia terlihat murung dan kian jarang berbicara. Setiap sore sambil menutup jendela-jendela dan pintu setelah menyalakan lampu teras, biasanya Ibu Mega melakukannya sambil bersenandung. Sering pula ia bertegur sapa dengan penghuni rumah sebelah. Kadang juga mengingatkan kalau ayam-ayam gemuk milik mereka belum juga masuk kandang.

Ibu Mega dikenal sebagai sosok yang hangat dan murah senyum, tapi tidak sejak sore kemarin. Tiada senyum apalagi senandung. Jendela-jendela dan pintu itu pun ditutup lebih awal. Ah, tampaknya ia sedang banyak pikiran. 

Ibu Mega memiliki balita. Seorang anak laki-laki yang berusia enam belas bulan. Pipinya menggembung kala tersenyum. Matanya sewarna dengan pasir basah, padahal warna kesukaannya adalah biru muda. Kalau ia merasa senang, ia akan menunjuk objek yang menarik baginya dan berseru, "Bububuuu!"

Tentu saja bayi itu pun punya nama. Tiga suku kata yang memiliki makna serupa dengan 'matahari'.

Tentu saja Ibu Mega sangat menyayangi putra semata wayangnya. Belum bisa berjalan lancar, tapi tiada hari tanpa merangkak. Belum bisa berbicara, tapi racauannya membuat Ibu Mega senantiasa tertawa.

Anak itu juga jarang menangis. Bila merasa lapar atau haus, ia akan menggigit mainannya dengan keras. Ia juga tidak takut bila melihat kecoak mendekat ke arahnya. Malah, binatang itu yang takut dan kabur duluan. 

"Sayang." Wanita itu menatap sang anak dan mendekap lebih erat. Malam itu tepat satu jam setelah waktu ibadah isya. "Dengarkan ibu. Besok kita akan pergi. Kita akan meninggalkan pulau ini pagi-pagi sekali. Kita akan berkunjung ke rumah Bibi Tari di seberang pulau."

Alih-alih menjawab, bayi itu mendekap ibunya lebih erat. Bisa dianggap itu adalah sebuah persetujuan.

Sayangnya sang ibu tidak mengatakan bagaimana dan dengan cara apa mereka pergi. Kendati bayinya belum memiliki kapasitas pemahaman layaknya anak di atas lima tahun, tetap saja Ibu Mega tidak merasa perlu untuk menyampaikan hal itu. Tidak pada siapa pun.

Keesokan harinya mereka berdua berangkat. Keduanya ditemani awan gelap dan angin kencang, juga kelembapan udara yang meningkat. Baik Ibu Mega dan putranya hanya mengenakan pakaian sederhana dengan tambahan syal serta kain samping untuk membungkus si bayi. 

Ibu Mega bergerak cepat sekaligus waspada. Si bayi masih terlelap ketika Ibu Mega membawanya berangkat bahkan sebelum cakrawala diselimuti cahaya. Terlalu lembut cahaya itu, masih cukup jauh pula bola kuning itu untuk datang dan memunculkan diri. Tetap saja keduanya pantang untuk menaiki kapal feri.

Perlahan-lahan si bayi membuka mata, tepat ketika suara petir menggelegar. Ia masih berada dalam dekapan sang ibu, agak cukup terkejut dengan suara barusan. 

Lalu hujan turun perlahan. Sungguh perjalanan yang menantang. Seharusnya Ibu Mega lebih peka dengan laporan ramalan cuaca yang biasanya disiarkan melalui radio.

"Pagi, Baskara," sapa sang bunda sambil mencium putranya. 

Baskara membuka mata lebar-lebar. Angin terasa lebih kencang ketika ia mencoba mengamati sesuatu yang menaungi ia dan ibunya (bukan atap, melainkan terpal plastik). Suara deru mesin juga mengiringi kepergian mereka. Asing. Bagi bayi bernama Baskara, ini semua begitu asing. 

"Kamu kedinginan, Nak?" tanya sang ibu. "Lapar?"

Si bayi tidak menangis, tapi bukan berarti ia dalam keadaan baik-baik saja. Tentu saja ia lapar. Ia toh tak perlu khawatir karena sang ibu sudah bersiap untuk memberikannya ASI.

Sekali lagi, ini sama sekali bukan perjalanan yang dipersiapkan secara matang. Jantung Ibu Mega berdebar tak keruan. Semakin menjauhi pulau, semakin dirinya tak tenang. Bagaimana kalau ia dan bayinya tak selamat? Bagaimana bila Baskara sakit? Bagaimana bila nelayan pemilik perahu ini mengejarnya dengan perahu lain dan melaporkan perbuatannya ini pada pihak yang berwajib?

Dari sekian banyak pertanyaan yang bercokol dalam benaknya, Ibu Mega melupakan satu hal yang justru teramat penting. Udara di luar sana kurang bersahabat demikian pula dengan ombak selat. Hujan gerimis tampak jinak, tapi tidak dengan sang angin darat. Cuaca dingin sudah pasti menjerat. Belum lagi gulungan demi gulungan ombak membuat perahu itu kian membelingsat.

Seandainya riwayat asma dirinya kumat, akankah ia selamat? 

•••••

•••••

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Bubu dan Penjelajahan TirtawangsaWhere stories live. Discover now