• Lima •

11 2 0
                                    

Kalau dihitung-hitung, sudah hampir sepuluh menit ia mencari-cari. Merasa gelisah, ia duduk sejenak di hadapan si bayi.

Sejak tadi Tami masih menganggap bahwa bayi itu bisa melihatnya.

Astaga. Astaga. Astaga. Berpikirlah Tami, berpikir.

Gadis itu tak perlu mengkhawatirkan si bayi akan terjatuh karena ia sudah mengganjal anak itu dengan pelampung berbentuk cincin. Tidak juga ditempatkan di atas lempeng kayu karena itu akan membahayakan posisi si bayi.

"Manamnaiaaa." Balita yang mengenakan baju putih dan celana biru itu berceloteh seraya memukul-mukul pelampung yang mengitarinya. Ia sama sekali tidak menyadari keadaan genting yang menimpa, tapi toh itu bagus juga.

"Hei." Tami mencondongkan tubuh dan menatap anak itu lekat-lekat. "Kau mau ikut aku ke laut?"

Mulanya Baskara seolah tak menyadari keberadaan Tami, tetapi ia akhirnya menoleh dan membalas tatapan Tami.

Kali ini Baskara menjulurkan sebelah tangan. Telunjuk mungilnya mengarah pada sabuk yang melingkari pinggang Tami.

Gadis itu menelan ludah. "Kau ... bisa melihatku?"

Baskara seperti ingin menyentuh sabuk itu, tetapi tubuhnya kembali mundur. Ia lalu melepaskan dot miliknya lalu memberikan dot itu pada Tami.

Gadis itu tersenyum. Matanya basah dan ia tertawa penuh haru.

"Sepertinya karena kau masih sangat muda, jadi kau bisa melihatku, ya?" Tami sungguh penasaran, tapi toh ia bisa menanyakan hal itu pada ibunya.

"Baiklah. Kalau begitu ayo ikut aku ke laut. Kami akan menjagamu sampai orangtuamu ditemukan. Bagaimana?"

Baskara memukul-mukul pelampung karet dengan penuh semangat. Ia tersenyum hingga kedua matanya berupa garis tipis.

"Kuanggap itu sebagai jawaban iya." Tami lantas mengangkat si bayi dengan lembut. Ia menunggu. Anak itu tidak memberontak, tidak pula menendang-nendang. Baskara kembali berada dalam dekapan Tami.

"Anak pintar. Percaya padaku, kau akan tetap aman. Oke?"

Seakan mengerti, Baskara berceloteh riang.

🌊•🌊• 🌊

•Beberapa dekade lalu•

Sebuah gelembung terbentuk dengan perlahan, membuat seekor penyu terkurung di dalamnya. Alih-alih memberontak, hewan itu seakan menunggu sampai gelombang udara di sekelilingnya terbentuk sempurna.

Plop!

Gelombang itu seketika pecah. Penyu itu terlihat agak sedih.

"Ayo coba lagi, Tuan Putri!" Ia memberi semangat pada Tami. Lengannya melambai penuh semangat.

Wanita yang sedari tadi mengamati bergerak menghampiri Tami.

"Berkonsentrasilah, Tami. Kau pasti bisa." An berujar dengan sabar padahal sudah lebih dari lima kali Tami mencoba mempraktikkan sihir ini.

Tami yang ketika itu masih sangat muda merasa kecewa dan hampir menangis. Apa yang salah pada dirinya?

Padahal ini hanya sihir sederhana, tapi mengapa begitu sulit dilakukan? Begitulah pikirnya.

An tersenyum seraya mengusap bahu putrinya.

"Apa yang kau alami saat ini juga ibu alami saat masih muda. Cara mengatasinya hanya satu. Latihan terus-menerus. Ingat perkataan ayahmu bahwa sihir adalah tentang menguasai diri." Diselipkannya sejumput rambut Tami ke belakang telinga gadis itu.

"Semua Oseanis ditakdirkan menjadi penyihir, tapi bukan berarti kita tidak perlu mempelajari dan melatih itu semua."

Tami menggigit bibir. Ditatapnya sang ibu.

"Bu, bagaimana kalau kita mempelajari sihir yang lain saja? Yang lebih sederhana dan mudah. Mengendalikan ombak misalnya."

An menggelengkan kepala. Pelan sekaligus dengan tatapan tajam dan tegas. Ia melipat kedua tangan di depan dada. "Apa bedanya? Semua jenis sihir membutuhkan ketekunan. Ayo, kita mulai lagi."

Tami membuang napas panjang. Bibirnya masih melengkung ke atas. "Baiklah."

An kembali bersuara. Kali ini lebih pelan hingga menyerupai bisikan.

"Lebih tenang. Lebih rileks." Wanita itu menepuk bagian pelipis, bahu, serta kedua tangan Tami. "Jangan sampai ada otot atau urat yang kaku. Kuncinya ada pada inti dirimu. Rasakan energi raga dan jiwamu bersatu. Bersinergi seiring tarikan napasmu."

Tami memejamkan mata sejenak. Sembari mengatur napas ia memusatkan konsentrasi dan meringankan pikiran.

An bergerak mundur. Di tempatnya, Tami kembali mengangkat tangan kanan sejajar dada.

Gadis itu membuka mata dengan perlahan. Kekuatan yang ia kerahkan kali ini tidak terlalu berlebihan, tidak juga terlalu lemah.

Penyu itu mulai tersenyum riang. Sebuah gelembung udara kembali mengelilingi tubuhnya, menggantikan perairan asin barang sementara. Dihirupnya udara oksigen banyak-banyak.

Ketika kelopak mata Tami terbuka sepenuhnya, gelembung itu sudah terbentuk sempurna.

An tersenyum lebar.

"Tuan Putri berhasil! Horeee! Putri Tami hebat!!"

Tami tertawa penuh haru. "Terima kasih, Tuan kecil."

Ketika ia bersitatap dengan sang ibu, gelembung itu masih sepenuhnya utuh.

"Perbesar gelembungnya."

Gadis itu kembali berkonsentrasi dan melakukan permintaan sang ibu. Kali ini ia berhasil.

"Sekarang, gerakkan gelembung itu hingga permukaan."

Tami mengangguk mantap. Ia yakin hal itu juga dapat dilakukannya.

Tiada keraguan. Tiada keputusasaan. Tami Arshandi telah berhasil menciptakan percik keberanian dalam dirinya.

•••••

•••••

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Bubu dan Penjelajahan TirtawangsaWhere stories live. Discover now