• Tiga •

8 2 0
                                    

Satu hal yang tidak Tami sukai dari perairan samudra adalah dinginnya temperatur perairan di sana. Jangan salah. Bahkan di perairan laut sekalipun temperaturnya begitu dingin, mencekam, dan tak ubahnya samudra berpalung. Bagi Oseanis muda seperti Tami, hal itu tentulah masih begitu asing dan ganjil. 

Itulah kenapa ia merasa sangat bahagia ketika kembali ke sebuah selat tempatnya tinggal. Cahaya matahari di sini juga melimpah, membuatnya merasakan kedamaian dan juga kehangatan.

Mungkin kalian bertanya-tanya, apakah Tami dan ibunya menghabiskan waktu untuk berenang dari samudra menuju selat? Bagaimana cara mereka bisa sampai ke selat dalam waktu yang singkat?

Oseanis memang menguasai sihir, tapi soal perjalanan dari satu tempat ke tempat lain mereka memiliki sesuatu yang jauh lebih efisien. 

Para Oseanis menyebutnya sebagai 'gerbang pintas'. Sesuatu yang dapat mereka lalui guna mempersingkat jarak dan waktu. Seringkali letak gerbang ini tersembunyi seperti dalam goa atau malah berbentuk bebatuan biasa.  Ketika Oseanis mendekat, gerbang ini akan bergetar pelan dan memunculkan cahaya. Ketika ini terjadi, fauna di sekitarnya akan menyingkir dan memberi jalan.

Sekalipun Tami tak menyukai samudra, tapi ia amat menyukai gerbang pintas. Rasanya seperti melewati terowongan yang gelap dan agak panjang, tapi seringnya malah terasa terlalu cepat. 

Apa pun itu, Tami merasa jauh lebih baik sekarang. Tak ada lagi sudut bibir yang tertarik ke bawah. Tak ada lagi isakan. Masih menggenggam tangan sang bunda, Tami berenang sambil menyapa beberapa kawannya. 

"Hai, Peni!"

"Halo, Danai!"

"Pagi, Okta!"

"Bagaimana tidurmu, Urba?"

Hampir semua fauna laut ia sapa. Ikan, penyu, udang, kepiting, bahkan gurita. Kesemuanya membalas sapaan Tami, membuat gadis itu kian melupakan masalah yang tengah melanda.

Ini teritorinya. Wilayah kekuasaannya. Menempati istana selat ini berarti ia memiliki tanggung jawab untuk menjaga keselamatan makhluk laut di sekitarnya. Ia pikir, tiada gunanya menunjukkan kesedihan di hadapan kawan-kawannya. 

Anita tersenyum lega. Jauh lebih lega, karena ia pikir Tami sudah bisa menerima kenyataan pahit itu dengan lapang dada.

Beberapa meter dari istana, Anita bergeming. 

"Ada apa, Bu?

Anita tersenyum. "Ibu sangat senang kau sudah bisa tersenyum lebar seperti ini." Dibelainya rambut Tami. "Nak, sebentar lagi ibu harus berpatroli. Kau mau beristirahat di dalam atau di sini saja?"

Tami menjawab penuh semangat. "Kurasa aku akan di sini saja, Bu. Pikiranku akan lebih segar bila aku bermain dengan teman-temanku."

Anita mengangguk. "Baiklah. Ibu tinggal dulu ya, Nak."

"Dah, Bu. Hati-hati." Tami melambaikan tangan menyaksikan ibunya beranjak ke arah barat. Seiring kepergian Anita, wajah gadis itu kembali murung.

"Pssst." Seekor penyu berwarna abu-abu beranjak mendekati Tami. "Ayo, ceritakan padaku. Apa bakat bawaanmu, Tuan Putri? Pasti sangat istimewa!"

Tami menjawab seraya menundukkan kepala. "Masih tersembunyi, Pen. Bakat bawaanku masih tersembunyi dan aku tidak bisa mengikuti turnamen periode ini."

Peni menghela napas. Ia berpikir sejenak. "Tapi, kau tidak sedih kan? Kau akan mencoba lagi nanti, kan?"

"Entahlah." Bahu gadis itu merosot. 

"Lho, tapi tadi kau terlihat ceria. Kenapa sekarang jadi begini?" Seakan menyadari sesuatu, Peni buru-buru berucap, "a-apa ada ucapanku yang menyinggungmu, Tuan Putri? Aduh ... aku minta ma—"

"Tidak, Pen. Aku tadi tersenyum di hadapan ibuku. Kalau aku sedih, ibuku juga sedih."

"Oooh. Begitu rupanya." Peni memiringkan kepala. "Sekarang, apa yang kau butuhkan? Aku siap menemanimu, Tuan Putri."

Tami tersenyum tipis. "Terima kasih. Sepertinya aku mau ke permukaan sebentar."

"Baik, Tuan Putri. Tadi aku baru saja dari sana dan sepertinya masih hujan."

Tami merasa itu bukan masalah. Kedua tangannya mengayun, membawa tubuhnya semakin dekat pada cahaya yang mulai mengikis langit muram. Permukaan laut kembali mengilap bak permadani raksasa yang dihujani cahaya.

Ada satu hal yang gemar dilakukan Tami ketika ia sedang bersedih atau gusar. Ia akan menghirup udara di permukaan, berteriak sekencang-kencangnya, dan mencipratkan air menggunakan lengannya.. 

"Ugh!" Gadis itu mengerang. "Padahal aku ingin sekali mengikuti turnamen itu. Aku ingin membuat orangtuaku bangga dan bahagia." Ia ingin bersuara lebih banyak lagi, tetapi tenggorokannya tercekat. Air mata membasahi pipinya. "Apa yang salah denganku? Apa?"

Tami Arshandi menangis sejadi-jadinya. Ia pikir, dengan cara begini tak ada fauna laut yang akan mendengarnya. Kalaupun terdengar, pastinya samar. Manusia darat toh tak akan mampu melihat dirinya, jadi ia tak perlu mengkhawatirkan hal itu. 

Mendung dan hujan sudah pergi, digantikan cakrawala riang dan cerah. Tami menyipitkan mata. 

"Mlamama!"

Tami yang masih menundukkan kepala mulai menyeka air mata. Suara balita terdengar tak jauh darinya.

"Suara bayi ... jangan-jangan dia hanya mau mengejekku."

Bayi itu mengoceh lagi. Kali ini terdengar semakin dekat dan jelas.

"Buuuhffft."

Meski enggan, Tami membalikkan badan. Sebuah perahu berwarna biru-putih terdiam di sana. Perahu itu seharusnya melaju, mesin di bagian belakang semestinya sedikit bergetar dan menderu.

Aneh. Perahu itu malah terdiam di tengah perairan. 

Mulanya kepala si bayi terlihat. Ia muncul dengan kedua tangan menggantung di sisi perahu. 

Si bayi seolah mendorong dirinya sendiri. Kedua tangannya seakan berusaha untuk menggapai permukaan laut. Bobot tubuhnya mulai berpindah ....

Kedua mata Tami terbuka lebar. "JANGAN MELOM—"

Tubuh sang bocah semakin mendekati air. Kedua matanya sontak terpejam. Tubuhnya membeku mendapati dirinya terjun bebas.

"...PAT."

•••••

•••••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bubu dan Penjelajahan TirtawangsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang