19. MELUKIS SENJA

Start from the beginning
                                    

"Ih, apaan sih? Orang gue lihat sendiri puluhan yang daftar ambasador, jadi enggak mungkin banget kalo kurang peserta."

"Ya mungkin selama seminggu ini ada kendala waktu seleksi. Kayak ngundurin diri, isi data kurang lengkap, atau asal-asalan." Javier membelokkan setir ke kompleks perumahan Aluna. "Ya tahu sendirilah, Extraordinary milihnya yang terbaik."

Gue menghela napas. Gua saja enggak tahu bakal lolos seleksi atau enggak. Tapi kalau ada Venya, pasti gue diloloskan. Apa hal ini ada sangkut pautnya dengan kedua orang itu? Venya dan Gema maksud gue.

"Coba tanya aja ke Venya kenapanya."

"Jangan ngajak ribut deh. Lagi males nih gue."

***

Gue mematung saat melihat senyum Aluna mengembang ketika kami datang. Gila sih dia cantik banget! Enggak bohong. Jujur, gue suka penampilannya yang seperti ini tanpa background rumah sakit. Dia pun terlihat cerah. Semoga enggak ada lagi drama rumah sakit. Gue mau Aluna sehat terus.

"Una...," Javier menyapa. Tangannya terulur dan Aluna menyambutnya. "Cerah banget, Cyin. Kale sampe jadi patung gitu ngelihat lo."

"Sialan!" Gue melemparkan tatapan tajam pada Javier, lalu menghampiri Aluna dan merangkulnya. "Sayang, itu siapa sih?"

Aluna tertawa. "Enggak tahu, Yang. Masuk aja, yuk!"

Kemudian, kami bertiga masuk ke teras belakang melewati slidding door kaca berbingkai kayu. Javier meletakkan dua kantung plastik putih berisikan pasir dan camilan. Sedangkan untuk sandpainting table, kata Aluna dia sudah memilikinya sejak lama.

"Nih, pesenannya!" Javier duduk di sebelah bawaannya.

"Latihannya entar aja, ya," kata gue sembari melepas ransel. "Gue capek, Na."

"Ya udah, enggak apa-apa." Aluna membenarkan ikat rambutnya. "Bentar ya gue ambil sandpainting table-nya di gudang."

"Lho, kok di gudang?" tanya Javier. "Berarti udah rusak dong. Kenapa tadi enggak bilang aja biar gue beliin."

Aluna tersenyum sekilas, lalu meninggalkan kami.

"Ih, Le, kok lo tidur sih? Cewek lo tuh ke gudang. Bantuin cepetan! Dia enggak boleh ngangkat berat-berat."

Gue yang baru saja memejamkan mata, berdecak dan segera menyusul Aluna yang tengah menuju ruangan di seberang rumah utama. "Biar gue aja, Na, yang ngambil," kata gue sambil mendahului langkah Aluna.

"Tapi lo enggak bakal tahu karena gue yang tahu tempatnya." Aluna mengambil kunci gudang di laci nakas hitam di samping pot berukiran ombak. "Ada kabar apa di sekolah?" tanyanya seraya memutar kunci, lalu membuka pintu. Tapi pergerakannya terhenti, dia berbalik dan memandang gue. "Kok suntuk amat, sih?"

Gue menggeleng. "Enggak apa-apa, Na."

"Jangan bohong! Gue udah kenal lo lama, Le. Cerita enggak?" Aluna mengangkat kepalan tangan di hadapan gue, seolah dia sedang mengancam akan benar-benar menonjok gue kalau enggak dituruti permintaannya.

"Muka lo enggak cocok jadi cewek galak, Na." Gue mengusap rambut Aluna. Lalu, tanpa menunggu aba-aba, dia masuk ke dalam gudang dan menyalakan lampu.

"Oh, ya udah. Entar gue tanya sama Javier aja."

Gue menghela napas. Memang selalu ada jalan untuk cewek itu membongkar hal yang ditutupinya.

"Kok gue lagi berasa lagi di film Narnia, ya?" tanya Aluna saat mendekati lemari besar yang terletak beberapa meter di depan pintu yang tertutup kain putih.

SORRY [slow update]Where stories live. Discover now