Enam Jari

17 2 0
                                    

"SEJAK dulu dia memang seperti itu, tidak peduli apapun. Mohon maaf, tapi sepertinya memang tidak bisa dibantu lagi."

Aku hanya diam di sudut lain ruangan keci dengan tembok berwarna cream dengan beberapa coretan anak kecil di bagian bawah. Suasana hening ini membuat beberapa orang berasa diintimidasi dalam sebuah acara resmi yang tidak dianggap. "Memang beberapa orang mengalami gangguan psikologis secara mendadak. Namun beberapa yang lain sembuh dengan sebuah hal yang bisa disebut keajaiban. Mizari memang terkena secara psikis akibat sebuah fakta. Jika diberi kesempatan dan kebolehan, aku ingin bertemu dengannya. Tidak masalah bagaimana keadaannya saat ini, selama dia bisa berbicara maka kita bisa mencari sebuah solusi." Hampir-hampir aku menurunkan tingkat kewaspadaanku pada wanita ini. Dibalik kepolosan dan kebaikannya aku merasakan sebuah emosi tersembunyi yang dalam. Seperti sebuah aura kegelapan neraka menghampiri dari dalam dirinya. Dari sedikit penampakan dan gaya bicara wanita ini, aku bisa mengerti tingkat kewaspadaan dan kelicikannya yang dalam dan tenang. Dia seperti hewan berdarah dingin yang mengendap dan siap memangsa kapan saja. Menurunkan kehati-hatian adalah kesalahan besar untuk saat ini. Berapa kalipun aku bertemu dengan wanita ini, pemikiran seperti itu tetap datang kapan saja.

"Saat ini dia belum bisa, mohon maaf. Tapi sepertinya cara seperti itupun percuma. Anak itu –perempuan itu tetap kokoh pada pendirian tentang ayahnya. Berapa kalipun kukatakan untuk meninggalkan laki-laki itu namun anak itu tetap saja diam di sana dan merawatnya. Berjalan di antara pecahnya amarah untuk mencari air ataupun obat. Entah rasa kemanusiaannya yang terlalu tinggi atau kebodohannya yang benar-benar sudah mengakar di otaknya. Saya harap anda mengurungkan niat anda tersebut, ini demi kebaikan anda sendiri juga." Perempuan itu berkata dengan nada yang halus namun ada kebusukan di dalamnya. Dia memasukkan lengannya pada lengan kimononya seperti menyembunyikan beberapa rahasia pada genggaman tangannya yang kotor. Perempuan ini benar-benar licik.

"Sayang sekali. Padahal saya kira kita dapat bekerja sama tentang masalah Mizari. Namun biarlah. Pada akhirnya keputusan tetap berada pada tangan anda sebagai ibunya. Namun apapun yang akan terjadi, saya ingin anda bercerita pada saya tentang apa yang sebenarnya dialami oleh Mizari dan tentang suami anda. Bagaimanapun saya sudah dilibatkan oleh anda sejak awal dan sebagai bentuk profesionalitas, saya tidak akan meninggalkan pekerjaan ini begitu saja." Aku mengambil tasku dan ingin segera beranjak dari tempat ini. Bagaimanapun aku tidak ingin terpengaruh pada apa yang direncanakan perempuan licik ini untuk anak dan suaminya. Aku merasakan sebuah tarikan mental pada sebuah hal yang harus diketahui. Aku segera keluar dari ruangan itu tanpa mengucapkan salam atau kalimat penutup apapun. Sikap yang sengaja aku berikan untuk sebuah penghinaan untuk perempuan tersebut.

Jalanan terasa lengang di balik padatnya orang yang sedang berjalan. Aku merasa bebas dari sebuah tekanan batin dari rumah tersebut. Apa yang sebenarnya ada di sana? Pikirku. Mungkin ada sesuatu yang tidak bisa dilihat dari wanita itu, sesuatu yang tidak memiliki fisik. Seorang anak SMA merasakan sebuah hal yang seharusnya tidak dia rasakan. Bahkan untuk mempercayai inilah takdir terasa sulit bagiku. Aku merasa ada sesuatu di balik sebuah kata takdir. Dimana hal tersebut berisi tentang sebuah keputusasaan dari sebuah realita kehidupan. Seseorang yang kalah dan berada dalam ambang kemerosotan, maka akan cenderung menyebut hal itu adalah takdir. Hampir tidak ada orang menang yang yakin pada jalan takdir. Manusia mengingat takdir hanya dalam keadaan susah.

Walaupun wanita itu tidak berkeinginan menceritakan apa yang terjadi pada Mizari, aku sudah berada dua langkah lebih dulu di depannya –menurutku. Kemenangan singkat yang kurasakan langsung kubenamkan jauh dalam hatiku. Seseorang yang sudah merasa menang maka dia akan kalah, tidak peduli sebanyak apapun langkah yang telah diambil, jika seseorang menurunkan kewaspadaannya, dia diambang neraka.

Aku –orang aneh yang mencari seseorang hanya untuk diselidiki dan berkedok psikolog panggilan, jauh lebih hebat dari bagaimana orang-orang melihatku. Dalam fisikku yang benar-benar buruk; gendut dan hanya memiliki setelan yang itu-itu saja, namun aku adalah seorang yang bisa mendalami kepribadian dan hukum jauh lebih rinci dari manusia biasa. Bukan bermaksud sombong, namun apa yang kumiliki jauh lebih berharga. Ketelitian, kecermatan dan kecepatan dalam mencari sebuah informasi adalah keunggulan yang bisa kusombongkan. Berbeda dari mereka yang berpenampilan bagus dan tampan namun kosong otakknya.

Mizari, anak ini merawat ayahnya yang benar-benar tidak berguna. Bagaimana menyebutnya, ya –seperti mayat hidup yang hanya bisa terbaring. Merawat, memandikan dan membuang kotorannya. Bisa dibilang dia anak yang baik, namun jika hanya memandang dari sudut itu saja terkesan sangat biasa walaupun cukup luar biasa. Di sisi lain, anak ini baru saja mengetahui bahwa ayahnya pernah berselingkuh dan bersetubuh dengan wanita lain saat ibunya sedang mengandung. Bahkan wanita itu sampai hamil dibuatnya, benar-benar manusia rakus. Anak ini bahkan berusaha mencari siapa wanita itu dan ingin mengenalnya begitu pula anaknya. Dia seperti memiliki sebuah tanggungan moral terhadap wanita dan anak yang dikandungnya karena ulah ayahnya. Benar kata wanita busuk tadi, entah kemanusiaannya yang tinggi atau memang dia bodoh. Dia merasa rasa moralitas karena ulah ayahnya adalah kewajibannya untuk menanggung dan memindahkannya dari ayahnya. Untuk anak perempuan semuda dia itu adalah hal yang benar-benar berlebihan. Entah dari mana perasaan seperti itu muncul atau mungkin dipicu oleh sesuatu, yang pasti pada zaman ini, perasaan terbelakang seperti itu hampir tidak bisa ditemukan dikalangan anak muda yang hampir melupakan moralitas karena perubahan zaman yang sedemikian pesat. Perkembangan kebudayaan Eropa yang tiba-tiba masuk dan menjadi momok menakutkan bagi para tradisionalis telah menggerus banyak kebudayaan timur berbagai negara, tidak terkecuali Jepang. Termasuk nilai moral dalam hati anak-anak muda yang memandang hal seperti itu sebagai bentuk keterbelakangan manusia. Anak itu –Mizari adalah anak yang benar-benar cantik dan pintar. Namun karena beberapa hal, dia bisa dibilang hampir tidak memiliki teman. Hanya satu sahabat sejak kecil, namun begitupun dengan sahabatnya, mereka memiliki sebuah ikatan yang hampir tidak terlihat dalam sebuah tali transparan yang menyambungkan keduanya dalam alam manapun.

Aku memasuki rumah yang hampir tidak layak disebut rumah. Namun siapa yang tahu, bahwa rumah seperti ini berisikan banyak data pribadi orang-orang. Karena aku adalah seorang ahli hukum juga, aku memiliki sebuah pengetahuan besar dalam konsekuensi yang aku lakukan. Namun, sensasi saat berhasil mengetahui masa lalu kelam seseorang dengan rinci, itu benar-benar menggairahkan. Jauh lebih menarik dari tubuh montok seorang wanita dengan pakaian ketat dan transparan. Bagaimanapun, sejak awal aku memang memilih jalan ini dengan bangga.

Tentang Mizari, aku merasa bahwa anak ini berbeda dari kebanyakan manusia. Seperti ada sebuah tarikan yang berpusat padanya. Beberapa waktu yang lalu, aku menjumpai bahwa anak ini lahir dengan enam jari. Sebuah jari kecil tumbuh sejak dia lahir dan orang tuanya memutuskan untuk memotong jari itu. Sejak aku tahu hal ini, aku memiliki sebuah ketertarikan yang hampir tak berdasar pada anak bernama Mizari dan tentang pemilik enam jari. Dulu, aku pernah membaca tentang mitos orang yang memiliki enam jari. Mereka diberkati dengan sebuah hal yang bisa disebut sebagai mukjizat sejak lahir. Ada sebuah hal yang berada dalam diri mereka, jauh di dalam sana. Ada sesuatu yang bisa disebut rahasia alam. Keberadaaan X memberikan sebuah hal pada orang-orang terpilih. Aku tidak mengerti sebenarnya siapa Keberadaan X ini. Antara Tuhan atau setan –tidak ada yang tahu. Bisa jadi jari keenam adalah sebuah anugerah, atau sebuah kutukan untuk penerimanya. Namun yang lebih menarik lagi, tidak ada pemilik enam jari yang hidup lama.

Bila berbicara tentang pemilik enam jari, maka akan dijumpai bagaimana kelamnya hidup mereka walaupun penuh dengan ketenaran dan bakat yang menyelimuti tiap bagian tubuh mereka. Dibalik bakat itu, ada sebuah transaksi beradu nyawa yang harus dikorbankan. Hampir semua kemungkinan baik telah mati saat jari itu dihilangkan. Kehidupan yang tidak adil, dan kematian yang mengenaskan. Itulah takdir yang menunggu para pemilik enam jari.

Tapi, mereka adalah pusat.

ORANGE DAN KISAH-KISAH LAINNYAWhere stories live. Discover now