Aku mengganti pakaianku dengan gamis hitam lalu membuka pintu sedikit. Mengintip apa yang terjadi. Bukannya melihat Aufar, namun aku justru melihat Farez.

Benar dugaan ku, sifat Farez pasti tidak jauh berbeda dengan Aufar, lihat saja kini dia sedang merangkul seorang wanita yang duduk di sampingnya. Aku menghela nafas. Mungkin sekarang Aufar sedang bersama pacarnya bernama Nanda itu.

Aku menutup pintu lalu duduk di bibir kasur. Seharusnya aku biasa saja, memang dari awal Aufar tidak bisa menerimaku, kan. Ini bukanlah kehidupanku, aku tidak pernah mendengar apalagi ikut serta dalam pesta foya-foya.

🍁🍁🍁

POV Alfarez :

Gue menatap layar ponsel. Pesan yang barusan gue kirim ke perempuan bernama Maida itu belum juga dibalas. Gue menatap ke arah Aufar yang malah sudah meminum alkohol beberapa gelas bersama pacarnya, Nanda.

Gue udah lelah ingetin dia. Meskipun gue selalu ikutin apapun hal yang Aufar lakukan, tapi gue gak pernah minum alkohol selama ini. Gue tau alkohol itu haram. Gue gak mau darah gue tercampur hal yang haram, apalagi kalau gue masukinnya dengan sengaja.

Gue menepiskan tangan saat merasa perempuan-perempuan disamping gue mulai memegang-megang tangan gue. Gue memang suka perempuan, namun, bukan perempuan-perempuan seperti ini.

"Far udah, lah.. Lo udah minum banyak." Peringat gue menahan tangan Aufar yang ingin mengambil gelas yang baru saja ia isi alkohol. Music kencang itu membuat gue harus berteriak.

"Apaan, sih! Lo juga suka, kan?" Dia malah tertawa-tawa seperti orang gila. Gue menggeleng-gelengkan kepala, lalu beralih menatap Nanda.

"Biarin, aja, lah. Biar dia seneng-seneng." Ujarnya disertai anggukan Aufar. Gue menghela nafas. Kalau bukan om Radit yang meminta gue untuk menjadi temannya dan memberikan gaji setiap bulannya, gue gak akan mau mengurus bocah seperti itu.

Enam tahun lalu, om Radit menemukan gue di sebuah Taman Pendidikan Al-Qur'an. Iya, saat gue berumur 17 tahun, gue memang udah dipercayakan menjadi Ustadz disana, mengajar anak-anak kecil untuk membantu bokap yang memang tidak memiliki kerjaan.

Lalu tiba-tiba, secara tidak sengaja, om Radit ketemu gue. Beliau menyuruh gue untuk membimbing anaknya. Gue bakal digaji setiap bulan hanya karena menjadi teman anaknya, gajinya pun tidak main-main. Gue mengenal om Radit, ia termasuk orang yang terkenal disini.

Menjadi orang kaya memang mudah. Mereka bisa seenaknya membayar orang dengan uang. Termasuk gue. Gue yang akhirnya menyetujui untuk menjadi teman anak itu. Gue bimbing pelan-pelan agar dia bisa menjadi apa yang om Radit inginkan.

Bukan dia yang berubah, justru gue yang berubah. Gue malah mengikuti permainannya. Gue temenin dia ke diskotik, menjadi obat nyamuknya saat bersama Nanda, intinya gue malah jadi teman maksiatnya. Bukan teman kebaikannya. 

6 tahun gue lewati tanpa ada hasil apapun. Gue juga heran, mengapa sampai kini om Radit belum juga menyuruh gue berhenti. Namun, jika om Radit menyuruh gue berhenti pun, gue akan tetep berusaha membuat Aufar berubah.

Gue tau, anak itu tidak benar-benar seperti itu. Setiap gue melihatnya, pandangannya kosong seperti ada yang hilang dari hidupnya. Dan selama 6 tahun juga, Aufar tidak pernah menceritakan kehidupan masa lalunya atau pribadinya.

Begitupula gue. Karena tidak mungkin gue cerita bahwa gue dulunya seorang Ustadz.

Buk.

Seseorang duduk di sebelahku lalu merangkulku. Aufar yang tengah mabuk itu sepertinya sudah kehilangan tenaganya. Gue melihat Nanda yang malah sibuk mengobrol dengan teman sekantor Aufar, Doni.

"Rez.."

"Apaan?"

"Kayak gini tuh, udah bisa bikin Tuhan murka gak, ya?" Pertanyaan yang mencengangkan. Dia tidak biasanya bertanya hal yang berkaitan tentang Tuhan. Karena biasanya, dia tidak peduli.

"Kalau iya, Lo mau berhenti?" Aufar menggeleng.

"Gue emang sengaja bikin Tuhan murka. Biar dia jatuhin bencana-bencana dan bikin gue mati. Gue udah capek hidup. Ha ha ha.." gue tau itu bukan elo, far. Gue menatap Aufar.

"Lo yakin?" Dia menggeleng lagi. Matanya menunjukkan segurat kesedihan. Namun, dia tertawa lagi. Bahkan, saat mabuk pun dia masih pandai menyimpan banyak rahasianya. Gue mengangguk.

"Oke, sekarang balik kamar.." gue menarik lengan Aufar membuatnya berdiri sempoyongan.

"Eh, gue aja... Udah Lo disini aja." Seorang gadis berambut pirang itu datang tiba-tiba dan mengambil alih lengan Aufar. Gue mengerutkan kening. Maida?! Gue yakin gadis itu pasti di kamar Aufar.

"Eh, gue aja.." gue langsung menahan Lengan Aufar.

"Apaan, sih. Gue ini pacarnya."

"Ya gue sahabatnya!"

"Minggir gue pusing." Aufar menepis tangan gue. Gue mengerutkan kening. Bukankah dia menyuruh gue merahasiakan hubungannya dengan Nanda ke Maida?! Tapi ini? Nanda mau mengantarnya berarti Maida akan bertemu dengan Nanda.

"Far..." Aufar dan Nanda berjalan menuju kamar Aufar. Gue yang sibuk mengirimkan pesan chat pada Maida itu tidak terkirim. Sial, sepertinya data gue habis.

Kenapa langkah mereka cepat sekali. Kini kami berada di tangga terakhir.

"Gue anter sampe kamar." Paksa Nanda. Aufar yang sudah menolak itu tidak bisa berkata-kata lagi. Ia menuruti saja perintah gadisnya itu.

Ceklek..

Seseorang dengan gamis hitam dan kerudung coklat membuka pintu tepat satu detik sebelum Nanda memegang gagang pintu itu. Wajahnya terkejut melihat Aufar, tidak. Dia lebih terkejut melihat Nanda yang sedang membopong tubuh Aufar.

Gadis berkerudung coklat itu lalu melihat ke arah gue sembari menautkan alis.

Namun..

Mengapa dia terlihat sangat cantik?

🍁🍁🍁

Alhamdulillah bisa up hari ini ❤️

Semoga sukaaa!! Aamiinn aamiin..

Kira-kira judul FAR itu untuk auFAR atau FARez?

Btw ini the first aku nyoba pake whatsmock. Hehe, gapapa ya.. biar keliatan kayak lebih real aja sih.
Ini jga the first aku make kata ganti gue. Wkwk

Aku pengen bikin visualisasi Aufar, Farez, Azzam, Nanda, sama Maida. Kalian mau lihat gak? Bakal aku post.

Terimakasih buat yang udah baca sampe chapter inii!!

Jazakumullahu Khairan Katsiran 🥰

Jangan lupa bersyukur hari ini

FARWhere stories live. Discover now