03. Malam

237 43 16
                                    

"Jadi misi kita kali ini, hanya menangkap pengedar narkoba?" tanya Jean pada Max saat mereka berada diruangan persenjataan.

"Jangan meremehkan misi ini, sebab kita bergabung bersama regu elite dua." Max menjawab membantu Jean memasang rompi anti peluru.

"Agent Van tidak bersama kita," tambah Mikaila sedikit ragu menjalankan misi tanpa seorang gadis gila.

"Ayolah, kita akan berhasil." Lucky datang bersama enam orang dari regu elite dua berisikan satu wanita dan lima pria.

"Dimana Brian?" tanya Jean memperhatikan sekitar.

"Aku melihatnya makan bersama Agent Van," ucap salah seorang dari regu elite dua. Jean berdecak kesal.

Benar sekali kalau saat ini Brian tengah menyantap makanan bersama Agent Van, dan makanan itu adalah masakan Max.

"Cepat habiskan makananmu," titah Agent Van pada Brian.

"Ini enak sekali! Jika pulang nanti aku ingin menyantapnya lagi!" Brian tersenyum senang dan dengan segera menghabiskan sisa makanannya.

"Agent Van, jika misi kali ini tanpa dirimu, kira-kira berapa persen kami dapat menang?" tanya Brian pelan.

"Lawan kalian adalah pengedar narkoba, aku yakin pria bernama Paul Bross itu adalah dalangnya, ia menyamar sebagai pengedar padahal ia adalah pemimpin komplotan." Ucap Agent Van tanpa rasa ragu sedikit pun.

"Kau bilang, kalian akan menyergapnya saat melakukan transaksi?" tanya Agent Van mengingat penuturan Brian tentang misi yang akan dijalaninya.

Brian mengangguk.

"Mereka yang akan menyergap kalian," ucap Agent Van membuat Brian kebingungan. Saat Brian hendak bertanya tiba-tiba Jean datang menaruh persenjataan Brian diatas meja makan.

"Cepat lah!" gerutu Jean menatap Brian dengan sinis. Agent Van hanya menampilkan tatapan datar, lain halnya dengan Jean yang menampakkan tatapan kebencian dan rasa iri.

Agent Van bangkit dari duduknya kemudian menepuk bahu Jean. "Jangan sampai mati." Kekeh Agent Van kemudian pergi.

"Dia pikir, kita akan kalah jika tak ada dirinya dalam misi?" tanya Jean kesal.

"Mungkin," jawab Brian pelan.

Beberapa saat kemudian, Agent Van duduk sendirian diatap gedung menatap kepergian rekan-rekannya. Ia merebahkan tubuhnya, membiarkan angin malam menusuk kulitnya. Tatapannya tertuju pada langit yang dipenuhi bintang-bintang.

"Van."

Tangannya terangkat menuliskan sesuatu di udara.

"Sampai jumpa," gumam gadis itu dengan senyum manis.

Regu Max bersiaga diposisi masing-masing. Mereka sudah siap dengan senjata dan keyakinan dapat memenangkan misi ini.

"Lucky, kau yakin tak ada orang lain selain sasaran?" tanya Max pada benda kecil yang berada ditelinganya.

"Lapor, aku sudah mengecek tempat ini tiga kali bersama Mikaila dan seorang dari regu elite dua. Kami yakin kalau sasaran memang sendirian."

Max mengangguk memperhatikan pria bertubuh tinggi yang tengah bersantai di tepi pelabuhan, nampak tak mencurigakan sama sekali jika dipandang oleh orang biasa.

Tiba-tiba pria bernama Paul Bross yang menjadi sasaran regu elite itu mengambil bungkus rokok lalu menyalakan sebatang rokok, ia membuang bungkus rokok tersebut ketempat sampah dan kembali berdiri ditempat semula.

"Apa kau pernah merokok?" pertanyaan konyol keluar dari mulut Jean pada Brian yang sedari tadi berkeringat dingin.

Brian tidak mendengarkan itu. Kepalanya hanya mengingat kalimat yang diucapkan Agent Van. "Mereka yang akan menyergap kalian."

Te Amo 3 ( Selena Aneska )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang