^Pertama^

31 7 0
                                        

Matahari nampak menyembul di balik belahan bumi, perlahan naik untuk membangunkan semua makhluk yang masih terlelap, terkecuali untuk makhluk nocturnal tentunya. Sepertinya seorang gadis yang bersembunyi di balik selimut nya adalah salah satu makhluk nocturnal itu. Dia terlihat akan memejamkan mata nya tanpa memedulikan cahaya matahari yang sudah mendobrak masuk melalui celah jendela kamar.

Padahal ini hari Senin, yang dimana seharusnya dia berangkat ke sekolah untuk menuntut ilmu dan menjadi seseorang yang dapat diandalkan. Tapi sepertinya dia tidak peduli, memilih bergumul dengan bantal dan selimut sambil menutup telinga nya. Pagi yang tidak menyenangkan. Tidak. Tidak ada hari yang menyenangkan menurutnya. Hidup nya hanya berputar di sirkulasi yang sama.

Ya, sama. Seperti pagi ini, padahal jam masih menunjuk di angka 7 pagi tetapi ia dapat mendengar keributan yang diperbuat orang tua nya di lantai dasar. Mata gadis itu tak memancarkan aura kehidupan sama sekali, kosong dan hampa. Adu mulut ayah dan ibunya sudah jadi sarapan nya sehari-hari.

Dia selalu bertanya-tanya apa yang selalu dipeributkan kedua nya. Namun tetap saja kedua insan itu bungkam, ayah nya akan memilih pergi setelah ia melihat putri berdiri didepan kedua nya. Benar-benar tidak bertanggung jawab. Miya menatap langit-langit kamar. Tatapannya tak berubah. Berfikir amukan apa yang dia dapat jika ibunya tau ia bolos hari ini.

Menghindari hal yang membuatnya makin tersiksa, Miya memilih menjauh dari kasur dan menuju kamar mandi untuk mempersiapkan dirinya.

Miya Evgeneia adalah putri tunggal dari keluarga Evgeneia yang terpandang. Semua orang menghormati keluarga itu karena perusahaan besar yang dikembangkan oleh ayahnya, Hans. Dibalik semua itu, Miya menyimpan aib terbesar keluarganya. Yaitu pertengkaran tiada henti itu. Keluarga ini adalah aktor yang luar biasa.

Memikirkannya saja Miya muak sendiri, tersenyum miris kemudian menghidupkan shower untuk mendinginkan pikirannya. Karena setelah ini, dia harus berhadapan dengan topeng andalannya lagi di sekolahan.

^^^^^^^

Sesuai dugaan awal, Hans mengambil tas dan jas kerja nya begitu Miya sampai di lantai dasar. Bergerak meninggalkan rumah sembari mengabaikan tatapan putrinya. Manakal sang ibu berusaha mati-matian untuk menghapus air mata nya. Menghela nafas sejenak, Miya berjalan melewati ibunya untuk pergi ke dapur.

Dan lagi, tak ada sarapan apapun di atas meja. Yang ada hanya beberapa serpihan kaca yang berhamburan di lantai dapur itu. Miya menahan nafas nya sejenak, membayangkan apa yang baru saja terjadi disini sedari tadi. Benar-benar keterlaluan. Berusaha mengatur nafasnya, Miya membuka kulkas. "Tak ada apa-apa disana."

Suara lirih itu berasal dari wanita yang sudah melahirkannya. Miya tak menjawab, dia sudah tau itu jawaban pasti. Memilih menegakkan kembali tubuhnya, gadis perawakan mungil itu menghampiri ibu nya dan mengeluarkan sapu tangan tanpa motif untuk diberikan pada sang ibu. "Saya tau, jangan menangis lagi. Saya berangkat ya."

Setebal itulah tembok antara ketiga nya terbangun. Tak ada kehangatan didalam nya. Menggunakan bahasa seformal itu untuk sebuah hubungan sedarah sangat menyedihkan di mata siapapun. Setidaknya, Miya sudah terbiasa. Tak mendengar jawaban lain, Miya mengangkat tangan ibu nya dan meletakkan sapu tangan itu diatas telapak tangan pucat nan keriput tersebut.

Setelah meninggalkan rumah, Miya berjalan di trotoar jalan. Jalan nya seolah tanpa tujuan. Padahal dia akan pergi untuk menuntut ilmu tapi tak ada niat itu didalam hati nya. Dia hanya pergi ke tempat yang di sebut sekolah itu untuk menjaga reputasi nya, hanya itu. Buruk memang, tapi Miya tak dapat melakukan hal apapun lagi selain melindungi dirinya sekarang.

Tak memakan banyak waktu untuk sampai ke sekolah. Gerbang nya pun sudah terbuka lebar, membiarkan para penuntut ilmu melewatinya demi masa depan. Dengan langkah berat, Miya ikut menjejakkan kakinya melewati pagar. Pemandangan sekolah terlihat jelas. Sebuah gedung bertingkat tiga nampak menjulang di tengah tanah kepemilikan negara, dilengkapi fasilitas yang memuaskan seperti lapangan sepak bola, basket, bulutangkis dan tenis bahkan volly.

Benar-benar sekolah yang butuh biaya ekstra. Itu mungkin menjadi sekolah idaman bagi banyak anak, tapi tidak bagi Miya yang sudah melihat sekolah itu sekitar 1 setengah tahun lamanya. Mempercepat langkahnya menuju gedung. Tingkat gedung dibagi berdasarkan usia kelasnya.

Peserta didik tingkat 1 berada di lantai dasar, tingkat dua di lantai 1 dan tingkat tiga di lantai dua. Gedung ruang guru, perpustakaan dan lain-lain terpisah di bagian kanan dan kiri. Miya mengganti sepatunya dengan sepatu dalam ruangan, menjejakkan kakinya untuk berjalan ke tingkat satu, dimana kelasnya berada.

Pandangan orang-orang tak lepas darinya. Selain cantik dan bertubuh modis, Miya selalu menatap orang-orang dengan ramah. Karena ketenaran ayahnya juga, tak jarang orang-orang mendekatinya hanya untuk panjat sosial. Miya tau semua itu, namun dia tak bisa menghindari mereka semua.

Ia memang suka sendiri tapi tak suka kesepian. Itu aneh, tapi itu lah yang dia rasakan. Selama ini, dia menerima semua orang didalam kehidupannya walau segalanya akan meinimbulkan rasa sakit diakhir. Ingin rasanya ia membenci semua orang dan mengurung dirinya, tapi kenyataannya dia jauh membenci perasaan aneh nya yang tak suka kesepian.

Tanpa melunturkan tatapan keramahan nya pada orang-orang, Miya didalam sana meronta. Dia muak. Memilih menghela nafas untuk menahan detak jantungnya yang berpacu cepat karena emosi, ia juga tanpa sadar memejamkan matanya sehingga bahu mungil nya tak sengaja menyenggol seseorang.

"Ah, maaf." ujar nya refleks setelah memebuka matanya kembali, menatap seorang pemuda yang berdiri dengan senyuman. Dia kenal pemuda itu, kakak tingkat nya. Senyumnya sangat ramah dan hangat bak matahari, tak akan ada yang bisa memalingkan wajah dari senyuman tampan itu. Walau ia selalu menyembunyikan kedua matanya di balutan perban. "Tak apa, tak perlu dipikirkan."

"Kau tak apa, Arga?" Mendengar suara itu, Miya memundurkan selangkah dirinya dan mendapati seorang kakak kelas lagi yang sibuk melingkarkan tangannya di lengan pemuda yang di panggil 'Arga' barusan. Seolah tersadar, Arga mendengakkan kepalanya. Sepertinya berusaha mengingat pemilik suara dan aroma ini. "Oh, Clarissa. Selamat pagi."

Gadis dengan ban tangan berwarna merah-yang menunjukkan bahwa dia merupakan tingkat 3- tersenyum sennag kala dirinya diingat oleh pemuda tunanetra itu. "Selamat pagi~ Sepertinya kau menabrak 'sesuatu' ya? Apa sakit?" Miya menatap kakak kelas wanita itu dengan tatapan tak suka yang disembunyikan. Apanya yang ditabrak? Dia hanya menyenggolnya!

Arga mengibaskan tangannya dengan lembut di udara, "Tidak tidak. Dia hanya menyenggol ku, sepertinya aku jalan terlalu di tengah ya?" tanya nya seolah menyalahkan diri sendiri. miya menundukkan kepalanya, "Tidak kak. Maaf saya sudah menabrak, saya permisi." Tanpa menunggu balasan, Miya segera berlari meninggalkan kedua insan itu disana.

Arga nampaknya terdiam beberapa saat sebelum tersadar setelah mendengar gerutuan Clarissa. "Apa-apaan dia itu? minta maaf yang tidak sopan." Protes Clarissa, masih menggenggam tangan Arga dengan akrab. Arga kembali mengayunkan tangannya di udara sembari menekuk kedua alisnya yang tak mungkin terlihat di balik poni surai nya, "Tidak boleh begitu. Dia sudah meminta maaf kan? Itu sudah cukup."

Clarissa menghentikan gerutuannya diganti dengan senyuman bahagianya. Dia seperti seorang anak yang baru bisa berjalan saja. Arga tersenyum merasakan aura hangat dari orang di sebelahnya, tangannya bergerak mengusap bahunya yang tersenggol tadi tanpa sadar memasang raut wajah sedih walau tak terlihat.

"Dingin nya.."

To Be Continued

DandelionМесто, где живут истории. Откройте их для себя