Teman Lain

1 0 0
                                    

Setelah selesai rapat dengan para jurnalis, Zara meninggalkan ruangan. Selama menyusuri koridor yang dipenuhi oleh para murid di jam istirahat, dia terus memikirkan kejadian-kejadian menyeramkan yang dialami, bukan hanya di sekolah tetapi di rumah juga. Terkadang Zara ingin menceritakan pada orang lain namun, ia tidak tahu apakah mereka akan percaya atau tidak.

Langkah kakinya membawa Zara ke kantin yang terletak berseberangan dengan lapangan. Meski sangat ramai, tetapi dia masih bisa melihat di mana posisi Tasya berada. Gadis berlesung pipit itu sedang makan bersama ketua kelas mereka, Naya.

"Tasya."

Tasya menoleh, Zara sudah mengisi kursi kosong di sebelahnya. "Aku pikir kamu lagi rapat sama anak-anak jurnalis."

"Iya, tapi sudah selesai."

"Kamu masih aktif di sana ya, Za? Aku saja udah jarang ikut OSIS," kata Naya, gadis cantik berkacamata.

"Masihlah, 'kan Zara suka banget sama menulis," sahut Tasya yang sudah mengenal Zara cukup lama.

"Emm, Sya, bisa nggak malam ini nginap di rumahku? Ayah lagi lembur dan baru pulang besok pagi," potong Zara sebelum lupa tujuan mencari Tasya.

"Wah, kayaknya seru. Aku juga mau, Za," sela Naya dengan ekspresi riang.

"Kamu juga boleh ikut kok, Nay." Lebih rame lebih bagus sehingga Zara tidak akan ketakutan lagi.

Tiba-tiba raut wajah Naya berubah murung. "Tapi aku nggak bisa, soalnya ada acara makan malam keluarga di rumah."

"Iya, nggak pa-pa. Kamu bisa 'kan, Sya?" tanya Zara yang tinggal bergantung pada Tasya.

"Boleh, nanti pulang sekolah, kita ke rumahku dulu minta ijin sambil bawa buku dan baju ganti."

Bibir Zara tersenyum lebar, setidaknya dia tidak akan sendirian di rumah. "Oke."

***

Setelah mendapat ijin dari orang tua Tasya, akhirnya saat magrib mereka baru turun dari angkutan umum dekat rumah Zara. Kedua gadis itu beriringan memasuki gang yang diterangi oleh lampu jalan. Sunyi dan sepi, padahal jam masih pukul 6 sore.

"Mau beli sesuatu untuk kita makan di rumah?" tanya Zara saat melewati minimarket.

"Boleh, bagaimana jika mie instan?"

Mereka lalu masuk ke dalam minimarket yang sedang sepi pengunjung itu. Setelah berpencar, Zara pergi ke bagian makanan ringan sambil mengingat ada apa saja di rumah. Saat sibuk memilih jajanan, entah sejak kapan ada gadis lain dengan tinggi sama berdiri tidak jauh darinya.

Diam-diam Zara mencuri pandang, wajah gadis itu terhalang oleh rambut panjang yang dibiarkan terurai. Baju yang dikenakan pun lusuh dan kusam, tangannya putih pucat meski tampak sedikit kebiruan. Menyadari jika diperhatikan, gadis tersebut memutar kepala ke samping dengan perlahan. Ketika merasa atmosfer di sekitar berubah aneh, Zara bergegas pergi dari sana sebelum gadis misterius tersebut benar-benar menunjukkan wajahnya.

Dengan langkah terburu-buru, Zara mencari Tasya yang sudah berada di depan kasir.

"Apa kamu sudah selesai, Za?" tanya Tasya yang rupanya sedang menunggu Zara.

"Su-sudah." Zara segera meletakkan beberapa bungkus makanan yang tadi sempat dia pegang. Tatapannya kembali tertuju pada rak bagian makanan ringan, memastikan apakah gadis tadi mengikuti ataukah tidak.

Setelah selesai melakukan pembayaran, mereka kembali melanjutkan ke rumah Zara. Zara lalu mengantar Tasya ke kamarnya untuk meletakkan tas mereka dan mengganti pakaian.

"Aku akan memasak untuk makan malam kita," kata Zara membawa kantong belanja mereka tadi sementara Tasya masih bersiap mengganti baju.

Bunyi kompor gas yang dinyalakan terdengar saat Zara mulai memasak. Dia mengeluarkan beberapa bungkusan mie instan dari kantung plastik dan mulai membuka bungkusnya. Ketika membalikkan badan, dia terperanjat ke belakang saat Tasya sudah berdiri di sana dengan senyum lebar.

"Ngagetin aja kamu. Mau pakai telur atau enggak?" tanya Zara.

"Mau."

"Oke, kamu duduk saja, biar aku yang masak." Zara kembali membelakangi Tasya dan melanjutkan memasak.

Zara melirik ke arah Tasya, sahabatnya itu terasa lebih pendiam. Ketika tanpa sengaja mata mereka bertemu, Tasya balas tersenyum. Zara merasa canggung lalu kembali memalingkan muka dan menyingkirkan pikiran buruk.

"Habis makan, kita mau ngapain? Atau mau nonton film? Aku punya kaset film baru." Zara memulai percakapan setelah selesai memasak.

"Boleh."

"Baiklah, kita makan sambil nonton film kalau begitu."

Mereka lalu membawa masing-masing piring ke ruang keluarga dan memutar kaset yang dikatakan Zara tadi. Tidak ada obrolan yang keluar, mata mereka fokus pada layar yang bersuara. Ketika Zara menyelesaikan makan malamnya terlebih dahulu, dia kembali menatap Tasya yang duduk diam bak patung bernyawa.

"Sya, aku mau ambil minum, kamu mau nggak?" tanya Zara.

"Mau." Lagi-lagi Tasya menjawab dengan singkat.

Zara menghela napas kemudian berdiri dan pergi ke dapur. Saat mengambil air dari kulkas, tatapannya masih terarah pada Tasya yang sedang menonton film. Gadis itu merasa ada yang aneh di sana. Tiba-tiba dia menggelengkan kepala lalu berkata, "Enggak, aku nggak boleh berpikir yang aneh-aneh."

Setelah meyakinkan dirinya sendiri, Zara kembali ke ruang keluarga, memberikan air minum pada Tasya. "Sya, sebenarnya aku mau cerita sesuatu sama kamu."

Zara tidak lagi berminat menonton film. Kejadian-kejadian menyeramkan yang sering dia alami membuatnya merasa takut berlebihan hingga mencurigai sahabatnya sendiri.

Tasya menoleh, mengalihkan perhatiannya dari televisi bersiap mendengarkan cerita.

"Akhir-akhir ini, aku merasa selalu dihantui, di rumah, di sekolah. Setiap kali aku pergi, seperti ada seseorang yang mengikutiku."

Zara teringat kejadian di ruang kesenian hari ini. "Apa kamu ingat saat kita melukis tadi? Tiba-tiba dari bawah ada tangan yang menyentuhku, bahkan kran di kamar mandi terbuka sendirinya," katanya dengan penuh semangat.

Ekspresi Zara menunjukkan rasa frustasi, keningnya berkerut, bibir bergetar, dan mata berkaca-kaca. "Aku takut bahkan di rumahku sendiri. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa ini terjadi padaku?"

Zara meluapkan segala perasaannya yang selama ini terasa sesak hingga sulit bernapas. Dia ingin berteriak tetapi tidak bisa, menangis pun seakan percuma. "Apa kamu percaya padaku?"

Tasya mengangguk pelan.

Zara menghela napas, walau tidak banyak respon yang Tasya berikan setidaknya ia bisa bercerita pada seseorang tentang apa yang dirasakan. Selama ini dia merasa selalu sendirian, tidak ada tempat untuk berbagi kisah. Gadis itu kemudian melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 23.00 malam.

"Sudah hampir tengah malam, ayo kita tidur agar besok tidak kesiangan."

Mereka lalu pergi ke dapur setelah mematikan televisi dan mencuci peralatan memasak. Tiba-tiba Zara tersentak teringat sesuatu.

"Tadi aku juga membeli buah, sepertinya masih ada di kamar. Aku ambil dulu untuk cuci mulut." Zara meninggalkan Tasya di dapur dan masuk ke kamarnya.

Ketika mengambil kantung belanja yang ketinggalan, ia melihat layar ponsel miliknya menyala. Zara mengambil benda pipih yang tergeletak di atas tempat tidur, mendapati pesan masuk dan panggilan tidak terjawab dari Tasya. Keningnya berkerut sambil membuka pesan itu.

Za, kenapa kamu ninggalin aku di minimarket? Aku panggil-panggil dari jauh, malah nggak denger. Tadinya, aku mau nyusul ke rumah kamu tapi karena aku lupa jalannya jadi terpaksa pulang lagi. Kamu nggak pa-pa, 'kan?

Ponsel Zara seketika terjatuh, kepalanya berpusing ke arah dapur di mana Tasya kini berdiri di sana sambil tersenyum lebar. Gadis itu berteriak ketakutan, bergegas menutup pintu, dan menguncinya.

Lagi-lagi dia menjauh dari daun pintu sambil memeluk dirinya sendiri. Air mata dan isak tangis tak kuasa ia tahan lagi. Badannya gemetar, Zara berteriak ketakutan.

"Pergi! Pergi dari sini!"

Tiba-tiba tubuh Zara merosot ke lantai, tangisnya pecah.

Meet You (telah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang