"Maafkan aku," kataku untuk yang terasa seperti kesejuta kalinya.

"Jangan meminta maaf padaku, Gracie." Grandpa memundurkan langkah dan menunjuk pada rekan Rusia-nya. "Minta maaflah padanya."

Pria itu berusia sebaya dengan kakekku, tapi rambutnya lebih tipis dan nggak terlalu putih. Dia telah melepaskan dasinya, dan ada sebercak darah yang menodai kemeja putihnya. Di lehernya terdapat sebuah plester yang menutupi luka bekas goresan duri dari semak-semak mawar. Mata kiri pria itu mulai terlihat membengkak, dan dia menatapku seolah aku datang kepadanya sambil membawa sebuah pisau lipat.

"Duta Besar," aku memberitahunya, "aku betul-betul sangat menyesal karena kecerobohanku. Itu adalah sebuah kecelakaan. Kurasa aku hanya tidak menyadari kekuatanku sendiri."

Aku mencoba untuk memaksakan tawa. Aku betul-betul putus asa dan ingin membuat semua itu terasa lucu, tapi tatapan pria di hadapanku itu sepertinya nggak berpikir demikian.

Seharusnya ini semua nggak perlu dibesar-besarkan! Aku ingin berteriak, tapi rasanya itu nggak berguna. Duta besar Rusia terluka dan kecelakaan itu terjadi di wilayah Amerika Serikat—dan dilakukan oleh warga negara Amerika Serikat—jadi aku mengambil napas dalam-dalam dan menundukkan kepala.

"Aku betul-betul meminta maaf dengan tulus."

Duta besar Rusia mengangguk dan kemudian berlalu. Aku mungkin bisa merasa lega kalau saja ayah Alexei nggak berjalan ke arahku. "Baiklah," katanya. Kemudian dia berseru, "Alexei. Kemari."

Ketika Alexei berdiri dan mulai mengikuti ayahnya berjalan ke koridor, aku menyadari sesuatu: Cowok itu juga berada dalam masalah.

Ayah Alexei berhenti di ujung koridor dan melirik dari balik bahunya, tepat ke arahku. Tatapan di wajahnya terlihat sangat jelas. Aku baru saja tiba di negara ini kurang dari delapan jam dan sudah membuat putranya terlibat dalam sebuah masalah.

"Selamat malam, semuanya," kata ayah Alexei. "Aku percaya kalau insiden yang terjadi hari ini tidak perlu mengikuti kita sampai esok hari."

---

"Grace, apakah kau baik-baik saja?" tanya Ms. Chancellor, sambil menyeretku dari gedung kedutaan Rusia menuju ke jalanan. Kami bahkan nggak menunggu Grandpa, yang sepertinya, masih saling berpamitan di dalam gedung. "Apakah kau terluka?" tanyanya, tapi jawabanku nggak penting. Dia terlalu sibuk menatapku seolah aku adalah benda rusak.

"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk..."

Ms. Chancellor mengangkat tangan untuk menghentikanku, memberi tanda universal yang artinya jangan buang-buang napasmu.

"Apa yang persisnya kau lakukan di taman?" tanya Ms. Chancellor.

"Aku ingin pergi jalan-jalan."

"Kukira kau ingin membereskan barang-barangmu."

"Yeah. Tadinya memang begitu, tapi..."

"Tapi apa?"

"Aku ingin menghirup udara segar."

"Menghirup udara segar?" Ms. Chancellor menaruh tangannya di pinggul dan melepas kacamatanya. "Kau ingin menghirup udara segar sehingga kau memutuskan untuk menyerang duta besar Rusia di tengah-tengah upacara penanaman pohon tahunan? Apakah kau tahu kenapa kakekmu menanam pohon dengan orang Rusia setiap tahun?"

"Aku nggak menyerangnya. Itu kecelakaan."

"Itu sebagai lambang pembaruan komitmen kita dengan mereka untuk saling bekerja sama dan menjaga harapan untuk masa depan."

"Itu kecelakaan," kataku lagi, kali ini lebih pelan. "Aku harus mencari udara segar, keluar dari ruangan itu, dan..."

"Dan apa?" sergah Ms. Chancellor. "Kumohon, Grace, beritahu aku hal mendesak apa yang membuat kau sampai melukai seorang pria."

All Fall Down - Embassy Row 1Where stories live. Discover now