01 • Cemburu

Mulai dari awal
                                    

Abel mangut-mangut. “Tapi gimana ya, Mail itu dewasa di mata Abel. Kecil-kecil sudah pintar dagang. Benar-benar suami idam— emhhh,” ucap Abel terpotong. Mulutnya dibekap menggunakan telapak tangan besar Atlantas.

“Apa hah apa?! Mau bilang Mail itu suami idaman, iya gitu? Terus aku ini gimana, hah?!”

Abel terkikik pelan di dalam hati. Lihatlah, Atlantas cemburu tanpa pandang siapapun itu.

Abel melepaskan bekapan Atlantas yang memang tidak kuat, lalu memeluk badan kekar tersebut. Hanya satu jurus yang Abel tau supaya Atlantas bisa tenang. Pelukan tulus dan hangat.

“Masa sih cemburu sama kartun.” Abel tertawa pelan. Pelukannya dibalas oleh Atlantas.

Tuh kan di peluk balik. Atlantas memang lemah dengan sebuah pelukan dari Abel.

“Hm.”

“Abel tadi bercanda doang Kak Atlas,” aku Abel membuat pelukan di pinggangnya semakin erat. Atlantas mendusel manja di cerucuk lehernya.

“Jangan gitu lagi,” peringat Atlantas.

“Iya. Maaf, ya.”

“Aku nggak suka,” aku Atlantas jujur.

“Abel tau.”

“Aku cemburu.”

“Semua orang juga tau kalau Kak Atlas itu pencemburuan akut.”

Atlantas meninggalkan kecupan singkat di leher Abel dan semakin mengeratkan pelukannya. Emosi Atlantas benar-benar turun drastis hingga ke kerak bumi. Pelukan Abel selalu berhasil menenangkan dirinya.

“Aku marah.”

”Tadi katanya nggak marah.” Abel mengusap pelan rambut Atlantas.

“Aku marah sama bocah kartun itu, bukan sama kamu.” Lagi dan lagi kecupan ringan hinggap di leher putih Abel.

Lama-kelamaan Abel bisa mati karena deg-degan. Jujur, ini memang bukan yang pertama kalinya. Tapi tetap saja rasanya selalu berdebar-debar. Seperti ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya.

“I-iya. Yaudah, lepasin dulu. Abel mau napas. Kak Atlas meluknya terlalu erat. Jadi sesak.”

Atlantas mengangkat wajahnya. Bertatapan langsung dengan wajah memerah Abel yang tampak sangat cantik. Dielusnya lembut pipi Abel.

“Andai aja kartun bocah itu nyata, maka udah aku habisin dari awal kamu sebut namanya,” ucap Atlantas dengan suara beratnya.

Jantung Abel semakin berdetak tidak karuan. Tubuhnya sudah berada di atas pangkuan Atlantas.

“Kak ...,” cicit Abel. Ia malu.

Sssttt, cuman sebentar.” Atlantas melingkarkan tangannya untuk memeluk pinggang ramping Abel. Wajahnya terbenam di cerucuk leher Abel.

Sapuan napas hangat Atlantas di leher Abel, membuat cewek tersebut bergidik.

“Kak Atlas, geli.”

“Hm.”

Atlantas semakin merapatkan badan Abel kearahnya. “Kamu wangi,” puji Atlantas. “Aku suka.”

Wajah Abel kian memerah. Ia sangat malu namun juga merasa senang.

“Kita nikah besok aja, ya,” ucap Atlantas tiba-tiba. Sontak kedua mata Abel membola besar.

“Heh, jangan aneh-aneh, deh.” Abel memukul pelan bahu Atlantas.

“Aku nggak aneh. Jadi, kita nikah besok, ya?”

“Enggak mau. Kita masih sama-sama kuliah. Lagian Abel juga bingung nanti kalau udah nikah harus ngapain.”

“Diam di kamar aja.”

“Bosan.”

“Kalau sama aku nggak bosan. Nanti kita main.”

“Main?” beo Abel polos.

“Iya, main. Pantang keluar kamar sebelum puas,” gumam Atlantas.

Abel jadi menggaruk pipinya. “Kak Atlas ngomong apaan, sih.”

“Bukan apa-apa.”

Lalu Atlantas mengecup lama leher Abel. Sebelum akhirnya ia memejamkan kedua mata.

Mengabaikan wajah Abel yang kini semerah kepiting rebus.

“Aku ngantuk,” bisik Atlantas dengan suara deep khasnya.

Jantung Abel semakin jumpalitan di dalam sana.

••• 🏍️🏍️🏍️ •••


Kenapa ngebet banget sih publish ini di bulan puasa. Mana up-nya masih siang lagi.

Next time malam aja, deh.

Spam komentar dulu, yuk. Tembus 100 komentar? Auto up cepat.

See u next part 🚸



Atlantas & ArabellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang