Prolog

15 1 2
                                        

Satu tetes.

Dua tetes

Gerimis.

Aku berteduh.

Di bawah pohon rindang.

Ditemani jaket denim.

Bukan punyaku.

Memang bukan.

Air semakin deras turun menimpa tanah. Mataku juga senantiasa menatap jutaan air, entah sudah berapa liter jatuh ke bumi, seolah-olah ada ember besar di langit sana yang dengan sengaja ditumpahkan.

Katanya, hujan itu adalah sebuah rahmat.

Memang.

Tapi, tidak dengan keadaanku yang seperti ini.

Hujan ini deras, dan aku hanya bisa berdiri di bawah pohon. Memang rindang, dan cukup untuk berteduh. Tapi, percikan tanah menyiprat ke rokku. Itu yang aku tidak suka, ya sekalipun aku suka hujan, tapi kali ini aku merasa sebal.

Mau tahu kenapa?

Karena saat ini aku membawa berkas penting. Sekali saja dia basah, sudah, tamat riwayatku. Bisa-bisa aku dipecat. Ah, jangan, jangan.

Akhirnya, aku memilih untuk memesan ojek online. Aku menggerutu, kenapa aku tidak pesan dari tadi saja?

Benar-benar ya, dia. Sial. Aku jadi kecipratan hujan dan terpaksa berteduh di bawah pohon. Padahal dia sudah janji untuk menjemput. Tapi sudah 20 menit dia tidak datang juga.

Aku tebak, dia pasti sedang tidur.

Atau, yang paling buruk, sedang jalan dengan gebetannya.

Aku menepis pikiran kedua.

Sudah, jangan berpikir yang tidak-tidak. Berdoa saja, orderan ojekmu itu ada yang menerima.

Jadi, seperti biasa, aku menunggu.

Untung saja, ada ojek yang mau.

_____________

Okay, cerita pertamaku.

Sedikit malu untuk mempublish, cuma, yaa aku ingin mencoba hal baru.

Semoga, bisa diselesaikan.

See u.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 02, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Is It Enough?Where stories live. Discover now