16. JADI, GUE HARUS GIMANA?

Start from the beginning
                                    

Ah, ingin rasanya cepat-cepat menjenguk Aluna sewaktu pulang nanti. Walau bagaimanapun, cewek itu harus diutamakan daripada hati gue yang masih terkunci pada sosok Venya.

"Lain kali, jangan buang sampah dengan cara seperti itu ya. Masih untung yang kena Ibu, coba kalo Pak Kepsek. Bisa disuruh pulang kamu nanti."

"Tapi, Bu, itu bukan kaleng saya."

"Inget, Kale. Membantu itu banyak pahalanya."

Sambil menggenggam cola, gelak tawa Aubrey menyambut kedatangan gue. Rupanya cewek itu tengah berdiri bersandarkan daun pintu kantin ketika peristiwa memalukan itu terjadi.

"Eh, cewek enggak boleh ketawa lebar-lebar!" kata gue setibanya di hadapan Aubrey.

Bukannya diam, Aubrey malah tambah terbahak-bahak. Dasar!

Mungkin kalau ada Aluna, dia juga terpingkal-pingkal melihat cowoknya ini habis diceramahi Bu Susi.

Gue menoleh kanan dan kiri. "Cowok lo mana?"

"Joe ada, kok. Entar gue kenalin pas dia ke sini. Sekarang lagi ngumpul sama timnya."

"Tim apa?"

"Tim sukses!" Aubrey kembali tergelak.

Tatapan datar gue layangkan terhadap cewek bule di hadapan gue ini. Bisa-bisanya dia enggak menjaga image-nya sebagai mantan finalis ambassador.

"Udah jangan lihatin gue kayak gitu, Le. Entar Aluna cemburu." Aubrey menepuk pundak Kale. "Ngobrolnya sambil makan aja, yuk!"

Beberapa saat kemudian, gue membawa nampan berisi menu daging, nasi, salad, dan saus mayonese ke meja yang sudah dihuni Aubrey.

"Jadi, apa yang gue bisa bantu?" tanya Aubrey seraya melipat kedua tangannya di atas meja. Mulutnya masih terlihat sibuk mengunyah.

"Telen dulu, Brey," kata gue sebelum menyuapkan irisan daging ke dalam mulut. "Entar keselek pas denger masalah gue, gue enggak mau tanggung jawab."

Aubrey malah berusaha mengunyah dengan cepat, lalu menelannya. Setelah itu dia menenggak banyak air putih. Mata gue membulat melihat kelakuan Aubrey yang di luar bayangan ini.

"Bacot lo, Le!" Aubrey mengelap mulutnya dengan tisu. "Buruan apaan dah?"

"Ganas juga lo, ya. Kok bisa menang, sih?"

Mata Aubrey mendelik tajam. "Lo bilang kayak gitu lagi, enggak bakal gue tolongin ya."

Gue berdecak. "Iya, iya. Maaf."

"Lagian juga sesempurnanya orang, pasti ada aja kurangnya. Dan gue ikut ambassador juga enggak sembarangan. Bukan sekadar gaya, tapi pake skill, Le."

Lagi-lagi terdengar decakan lolos dari mulut gue mengingat gue sendiri enggak mempunyai kelebihan yang bisa ditampilkan di acara nanti. "Nah, itu dia. Gue enggak tahu skill gue apa, Brey."

Aubrey menggeleng-geleng pelan. "Sedih banget lo, Le."

"Makanya lo harus bantuin gue, Brey. Gue enggak tahu harus gimana lagi." Kali ini bersungguh-sungguh mengatakannya. Karena memang enggak ada lagi yang bisa menolongnya kecuali Aubrey dan kakak gue, Kara. "Gue cuma mau Aluna bahagia."

"Ng..., oke, gue pasti bantu. Mungkin nanti lo bisa diskusiin sama Aluna. Masih banyak waktu buat latihan, kok." Aubrey melanjutkan makannya. "Eh, iya. Aluna mana? Kok enggak ikut?"

"Aluna sakit."

"Oh, ya. Sakit apa? Kok lo enggak bilang sih dari tadi?"

"Dia dirawat, Brey. Bantu doanya ya biar cepet sembuh."

"Ya Tuhan! Sakit apa sih sampe harus dirawat? Tapi enggak parah, kan?"

"Jantung bawaannya kambuh lagi."

Aubrey menutup mulutnya dengan kedua tangannya. "Ya ampun. Semoga cepet pulih, ya. Terus lo kok malah di sini, enggak nemenin Aluna?"

"Ya kalo gue nemenin, siapa yang daftar dong?"

"Oh, iya. Kok jadi stupid sih lo, Brey?" Aubrey berdecak, lalu memukul kepalanya sendiri. "Pokoknya lo harus jagain dia! Gue enggak mau tahu."

"Tapi masalahnya—"

"Masalah apa lagi, sih? Kayaknya hidup lo banyak banget masalah deh."

"Emang." Gue sesap sedikit minuman gue. "Kagak mau pergi tuh masalah dari gue. Tiap hari ada aja."

Aubrey terkekeh. "Bukan hidup namanya kalo enggak ada masalah. Udah, lanjut! Jadi, masalah lo apa?"

"Masalahnya adalah hati gue masih belum utuh buat Aluna, Brey. Gue masih suka sama gebetan gue. Dan ...." Gue enggak sanggup berkata-kata lagi.

"Dan...."

"Dan gebetan gue itu yang jadi panitia acara."

"Oh, jangan-jangan cewek yang pernah disebut Aluna waktu itu ya?" tebaknya langsung. "Siapa tuh namanya?"

"Iya." Gue menghela napas. "Gue enggak mau Aluna gagal gara-gara dia."

"Tapi hati lo gimana?" Aubrey menggeser tempat makannya dan menautkan jarinya di atas meja. "Maksud gue, sekarang hati lo lebih ke siapa?"

"Pokoknya gue harus bikin Aluna bahagia dulu. Gue enggak mau nyesel nantinya karena gue milih Venya daripada dia." Gue mengatakannya sungguh-sungguh. Urusan Venya biar nanti saja.

Sambil mengetuk-ngetuk jarinya di meja, Aubrey mengatakan, "Ng..., okay, i'm not sure. Kalo masalah hati, gue serahin ke lo. Lagian kan lo cowoknya. Masa lo enggak sayang sama Aluna, sih?"

Lagi-lagi gue berdecak. "Itu ceritanya panjang, Brey. Pusing gue."

"Yang penting selama dua minggu ke depan sampe hari H, lo tetep sama Aluna. Biar hati lo utuh ke dia, Kale. Emangnya lo enggak tahu Aluna nangis waktu itu?"

"Kapan?"

"Di hari kita kenalan di kantin." []


SORRY [slow update]Where stories live. Discover now