7

40 10 4
                                    

Cempaka langsung menutup pintu utama dengan keras. Gadis itu hanya ingin bergegas ke kamar tanpa bertemu papa ataupun mamanya.

"Cempaka, makan dulu." Baru saja ingin menginjakkan kakinya di anak tangga ke tiga, suara Dewa malah membuat gadis itu mati kutu.

Sebisa mungkin gadis itu menahan isakannya. Ia mulai menyeka beberapa bekas air mata di sekitaran wajahnya.

"A-aku ganti baju dulu pa."suara serak milik Cempaka mengundang perhatian Dewa serta Nala yang kini sedang menyiapkan makanan.

Tak memperdulikan alasan sang putri, Dewa meraih lengan Cempaka dan mengajak putrinya iti bergabung ke meja makan. "Nanti aja bersih-bersihnya, isi perut dulu," ujar Dewa seraya mengacak rambut putrinya itu.

Setelah duduk di meja makan, Cempaka menatap malas makanan yang ada di depan wajahnya. Gadis itu memalingkan muka, enggan menatap kedua orang tua nya.

"Dimakan sayang." Nala menatap heran kepada Cempaka yang tiba-tiba diam.

"Sini papa suapin, biasanya kalau lagi diam begini  ada masalah dia nya," kata Dewa. Cempaka menoleh lalu menyambut suapan papa nya. Nala tersenyum melihat keakraban antara ayah dan anak itu.

Cempaka mati-matian menahan tangis. Bibirnya bergetar sambil mengunyah makanan. Setelah menelannya habis, Cempaka lalu menatap Dewa dengan tatapan sendu. Dewa yang ingin menyuapkan nasi ke mulutnya langsung mengurungkan niatnya tersebut.

Dengan suara bergetar dan isakan pelan yang mulai terdengar, Cempaka merentangkan tangannya menghadap Dewa. "Hug me please" cicit Cempaka seraya terisak.

Dewa tentu saja menyambutnya dan memeluk putrinya hangat. Sesekali mengelus rambut hitam dan mengecupnya berkali-kali.

"Are you okay? Hm? " tanya Dewa disela tangisan Cempaka. Nala menatap Cepaka prihatin.

"Aku capek pa," kata gadis itu lirih. Dewa terenyuh, terakhir kali dia mendengar anak gadisnya mengeluh hanya pada saat hari kedua setelah berita kasus pembunuhan yang dituduhkan kepada Cempaka tersebar. Hari terberat bagi Cempaka dan Dewa. Hari dimana semua orang menjauhi Cempaka, bahkan secara terang-terangan menghujat gadis itu.

Dan hari ini, gadis lemah itu kembali. Dewa membelai rambut putrinya pelan. Ia dapat merasakan bahu gadis itu bergetar, nafasnya bahkan tidak beraturan lagi.

"Its okay, ada papa disini. Ada mama Nala juga. Kamu bisa cerita apapun itu, dan kita akan menjadi pendengar yang baik," kata Dewa berusaha menenangkan Cempaka.

Cempaka mendongak, nafasnya tersengal-sengal. Air mata gadis itu menjadi pertanda jika pertahanannya kembali runtuh.

"Kenapa? Kenapa orang-orang di luar sana mojokin aku seolah aku emang pembunuh! Kenapa pa?" Teriak gadis itu di sela isakannya. Dewa menatap putrinya dengan tatapan sendu. Sesekali ia mengusap air mata Cempaka yang mengalir dengan deras.

Cempaka menutup wajahnya, isakannya mulai terdengar nyaring. Isakan pilu yang membuat siapa saja akan prihatin. Nala mendekat dan merengkuh gadis lemah itu. Tangisan Cempaka semakin kuat membuat Dewa memijat pelipisnya.

"Padahal bukan aku ma yang ngebunuh bunda Ayu, bukan aku," lirih Cempaka pelan. Nala mengusap punggung anaknya pelan, memberi kekuatan agar gadis dipelukannya kini bisa kuat.

"Kenapa orang-orang ngenalin aku karena Alysa Cempaka Wangi gadis tersangka utama dalam kasus pembunuhan guru biola nya sendiri?" Cempaka menatap kedua orang tuanya dengan tatapan nanar.

"Kenapa harus pake cara itu? Kenapa gak karena Alysa Cempaka Wangi gadis dengan kesederhanaannya? Kenapa pa, ma?!!" Gadis itu lagi-lagi berteriak seolah-olah menyuarakan kesakitannya.

3GandC : Cempaka's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang