"Tapi jarang banget lihat Mbak Via kehujanan pagi-pagi begini, kan, Gas?" Nana melirik Bagas yang kini berdiri di sampingnya untuk meminta persetujuan. Rupanya Nana masih berminat untuk melanjutkan pembahasan itu di dalam lift yang sedang bergerak naik. Beruntung Bagas hanya menanggapinya dengan sebuah anggukan.

"Cepat dikeringkan dulu, Mbak. Biar nggak masuk angin."

Bagas menyikut Nana. "Memangnya bisa? Ada yang bawa pengering ke kantor?"

"Apanya? Ngeringin baju? Ya, bisa lah. Apa, sih, yang nggak bisa kalau lagi kepepet? Di toilet kan ada pengering." Nana memutar bola mata.

"Itu kan pengering buat tangan, mana bisa buat baju basah," gumam Bagas setengah mencibir. "Aneh-aneh aja memang isi otaknya perempuan."

"Pantesan sampai sekarang kamu masih jomlo aja, Gas."

"Kok jadi bahas status?"

"Kamu duluan yang bahas gender." Nana membelalak galak.

"Hello, Gaes. Mau turun nggak, nih?" Via melambaikan tangan di depan keduanya. "Atau mau ikut ke lantai tujuh dulu?"

Nana menyikut Bagas dan menyusul Via yang sudah keluar dari lift terlebih dulu.

"Pagi ini kita ada rapat mendadak." Kemal yang baru keluar dari ruangan Pak Kris memberi pengumuman, bahkan sebelum Via mencapai mejanya.

"Ada yang gawat, Mas?" Bagas mulai penasaran.

"Nanti juga kamu tahu sendiri," jawab Kemal, walau matanya tertuju pada Via. "Tapi saran aku,"-tangannya mengacung ke arah pakaian Via yang basah-"perbaiki dulu penampilan kamu, sebelum mood Pak Kris pagi ini bertambah hancur."

Via mendelik sebal dengan pemilihan kata yang Kemal pakai.

"Sepertinya hari ini bukan harinya Mbak Via." Nana berdecak sambil menggelengkan kepala, pura-pura merasa iba.

Setengah jam kemudian Via harus setuju dengan ucapan Nana, bahkan Kemal. Pak Kris sudah memasang wajah kusut di balik kursinya saat Via menjadi orang yang terakhir masuk ke dalam ruang rapat, walau rapat itu tidak dihadiri seluruh anggota divisi.

"Kita mendapat pesanan spesial dari pusat," ujar Pak Kris setelah membuka pertemuan mendadak itu dengan sedikit tegang. Bahkan kata "spesial" ditekankannya dengan sangat jelas. "Seorang kerabat orang penting di Jakarta,"-Pak Kris berdehem-"minta dibuatkan desain interior rumah hunian. Masalahnya, kita harus bekerja cepat dan bisa memenuhi semua permintaannya."

Sebelum ada yang berani menyela untuk bertanya, pak Kris melanjutkan. "Waktu yang tersedia sekitar dua bulan, untuk luas bangunan lima ratus meter persegi. Dua lantai dengan enam kamar tidur dan lima kamar mandi."

Terdengar beberapa helaan napas yang sempat tertahan.

Sebenarnya waktu dua bulan masih bisa diusahakan, jika tidak banyak perbaikan dan, tentu saja, tidak sedang padat proyek seperti sekarang ini.

"Dengan terpaksa, saya harus mengambil seseorang dalam tim yang sudah ada, minus Hadi yang pekan ini akan mengakhiri masa magangnya."

Semua yang hadir dalam ruang saling bertukar pandang. Melihat gelagat dari pembawaan Pak Kris yang tampak kurang nyaman, sepertinya klien kali ini bukan orang yang mudah untuk dihadapi.

"Saya memutuskan," Pak Kris sengaja menjeda kalimatnya. "Via yang akan memegang proyek hunian di wilayah Pakuwon ini." Pandangannya beralih pada Via yang duduk di sebelah Nana.

Nana malah sempat menyenggol Via yang tanpa sadar membulatkan matanya, tidak percaya. Masalahnya, proyek apartemen yang ia pegang masih dalam tahap persiapan dan, terlebih, dua bulan yang akan datang Via harus fokus dengan ....

Menalar IntuisiOù les histoires vivent. Découvrez maintenant