chapter 1 - a decision

18 12 2
                                    

Nadir's POV

Asap nampak membumbung tinggi di udara setelah pria paruh baya itu dalam-dalam menghisap rokoknya. Betapa muaknya diriku melihat pemandangan ini. Tidak pagi, tidak siang, juga malam, selalu sama. Mata lelaki yang kupanggil dengan sebutan Papa itu mengarah pada televisi yang menyiarkan seorang pria berdasi tengah membawakan berita terkini. Aku pun mengisi sofa dan duduk tepat di sampingnya. Tanpa banyak babibu kuletakkan secarik kertas pada atas meja yang dipenuhi oleh kulit kacang berserakan. Belum lagi puntung rokok yang berjatuhan dari asbak dengan abunya mengotori ubin ruang tamu. Rumah seakan tidak ada perempuan saja semenjak kepergian ibuku setahun yang lalu. Ya, ya ya. Aku tahu bahwa di kartu keluarga jenis kelaminku tertera sebagai perempuan dalam kolomnya. Bukannya aku malas untuk membereskan hunian belasan tahun kami yang serba sederhana ini. Tetapi diriku memang tidak memiliki banyak waktu di rumah beberapa waktu belakangan.

"Nih, Pa. Coba dilihat dulu," ucapku membuka pembicaraan.

Tanpa menolehkan kepalanya sedikitpun ia membalas, "itu apa emangnya?"

Pandanganku ikut menerawang kosong ke televisi, teringat akan kejadian tadi sore sebelum pulang sekolah. Dadaku bergerak naik seiring tarikan napas, aku pun menghelanya pelan. Sejujurnya diriku malas menceritakan ini kepada Papa. Lihat saja perilakunya. Tampak tidak antusias bahkan sebelum aku memulai penjelasan.

"Tagihan sekolah. Tadi pas aku nemenin temanku bayar SPP, admin sekolah ingetin aku buat lunasin tunggakannya," terang diriku menjawab lontaran pertanyaannya baru saja.

"Terus dikasih, deh, ini. Dia bilang setidaknya cicil dikit-dikit gapapa, Pa," aku menyambung kalimatku tadi.

Papa manggut-manggut mendengarnya. Tangannya meraih kertas kecil itu, memperhatikannya sejenak kemudian menaruhnya kembali. Rokok yang berada di sela-sela jarinya memendek. Spontan pria berkacamata itu menyundut rokoknya hingga mati pada kertas tadi, menyisakan sebuah lubang kecil, seolah menganggap sepele kekhawatiran ku sekarang.

"Tenang aja, Nadir. Nanti pasti Papa usahain buat bayar semuanya. Ngga usah terlalu dipusingin," ujarnya begitu enteng.

Aku tidak terima mendengar responsnya. Bisa-bisanya Papa berkata seperti itu. dia pikir masa depanku ini mainan?

"Usaha darimana? Udah setahun lebih aku sekolah di situ, Papa bahkan ga pernah bayar SPP nya sama sekali. Cuma bayar uang gedung, itu pun juga ngga lunas," sindirku dengan ketus.

"Kamu, tuh, cuma anak kecil. Ga usah sok nasehatin orang tua kamu." Wajah Papa seketika berubah masam.

"Orang tua? Papa nganggep diri Papa orang tua gitu? Orang tua macam apa yang cuek sama anaknya gini?" tantangku lagi.

"Oh, sekarang berani kamu sama Papa, ya? Kayaknya kamu udah lupa siapa yang besarin kamu, ngasi makan kamu dari kecil, yang rawat kamu," intonasi bicaranya mulai terdengar naik.

"Ya, itu sih dulu, Pa. Dulu Papa emang care banget. Tapi sejak Mama ga ada Papa mulai berubah jadi serampangan gini," sahutku menanggapinya.

"Ga usah bawa-bawa nama Mama!" Papa membentakku dengan kepalan tangannya menghantam meja. Refleks aku memejamkan mataku akibat terkejut.

Ini semua bukan kesalahan Mama atau siapapun. Aku juga tak suka membahas ini. Namun, memang begitulah kenyataannya. Papa seakan kehilangan arah ketika Tuhan merenggut belahan jiwanya dari sisi lelaki itu selamanya. Sosok yang dahulu penuh kasih serta lemah lembut perlahan digantikan dengan pria yang menghabiskan separuh waktunya untuk uring-uringan, melampiaskan amarahnya dengan membanting pintu, dan tentunya menghisap beberapa batang rokok yang kerap membuat udara di rumah terasa sesak.

"Lah tapi emangnya aku salah? Kan, bener. Papa makin ga berguna aja sekarang! Kerjaannya cuma leha-leha, ngerokok." Pukulan tadi tak berhasil buat diri ini gentar. Rasa frustasi bercampur kemarahan kian bergemuruh dalam dadaku.

"Pengangguran tapi sering ngedumel ga ada duit padahal dia sendiri yang habisin buat minum ga jelas, ma—"

Sebelum diriku sempat menyelesaikan kalimat secara utuh telingaku mendadak berdenging hebat sesaat setelah sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipiku. Perih juga panas yang kini hadir tak mampu menyamai perasaan hancur yang membelit seluruh tubuhku.

"DASAR LONTE! NGOMONG SEENAKNYA AJA!" hardik Papa dengan raut wajah berangnya.

"GA PERNAH BANTU PAPA SAMA ADEK DI RUMAH! PULANG SELALU MALEM! HOBINYA NONGKRONG SANA SINI! PAPA GA PERNAH DIDIK KAMU JADI SEPERTI ITU! MALU PUNYA ANAK KEK KAMU!"

Napas Papa terengah-engah, ia kelihatan puas dibalik emosi yang ditumpahkannya kali ini. Seakan menampar putri sulungnya yang tengah menuntut hak yang pantas dirinya terima merupakan hal paling benar. Suasana hening menyeruak. Aku sepenuhnya yakin tetangga sekitar dapat mendengar amukan pria itu walau dinding-dinding telah memberi batas antar rumah.

Perasaan teramat sesak menyambangi. Buliran air yang sedari awal menggenang di pelupuk mataku tanpa sadar membasahi pipi kendati telah kutahan sekuat mungkin agar tidak tumpah. Sialan. Betapa bencinya diriku bila amarah berubah wujud menjadi tangis.

"Aku juga malu punya ayah kayak Papa! Percaya atau ngga, tapi Papa bakal nyesal suatu saat nanti!" Suaraku parau, mencoba untuk tak mengisak.

Aku pun berlalu melewati Papa yang hanya diam bergeming menatapku melangkah menuju kamarku. Ya, keputusanku kini sudah bulat. Aku akan angkat kaki dari rumah ini.

To be continued.

The Night AngelOnde histórias criam vida. Descubra agora