Orange

34 1 0
                                    

Dia benar-benar mengambil semuanya dariku. Bajingan itu bahkan menghianati diriku dan melahap istriku. Aku berusaha mengeluarkan seluruh umpatan yang aku miliki, namun –untuk sekarang, kata 'bajingan' itu benar-benar terlalu sopan untuk aku arahkan padanya. Gumpalan terkutuk tak berbentuk ini mulai menguasai hatiku. Apa ini kebencian? Kekesalan? Aku tidak tahu. Gumpalan ini menjalar memakan seluruh hati dan pikiran baik yang ada. Untuk sekarang, kondisiku sudah sangat kritis –bukan kritis seperti radang paru-paru atau sakit jantung. Hatiku –seperti tidak bisa ditembus oleh apapun lagi. Tidak dengan lagu indah yang biasanya aku dengarkan, rekaman musik yang biasa membuatku memejamkan mata sudah tidak berguna. Melihat mereka berpelukan di atas ranjang benar-benar membuatku risau dan cemas. Karena itu aku terus berkeliaran dari jalan ke jalan.

Aku hanya bisa terus berjalan tanpa tujuan pada jalanan sempit dan gelap ini. Daripada berjalan di jalanan lengang dan ramai, aku lebih menyukai jalanan sempit, kumuh dan gelap seperti gang sempit ini. Lampu telanjang yang redup dan cucian baju dimana-mana –sampah bau yang mungkin sudah seminggu dibiarkan disana tanpa dijamah seorang manusia. Aku menyukai kota ini, kota yang hampir mati karena dirundung kegelapan dan kepasrahan. Aku keluar dari gang sempit itu dan keluar menuju sebuah jalan yang lumayan besar dan cukup ramai. Jalanan terkutuk, mereka hanya tertawa sambil menikmati hari-hari mereka. Tuhan benar-benar pilih kasih. Segala harapanku dihancurkan saat itu juga –tanpa apapun yang membekas. Duri tertusuk di sana sini. Namun aku tidak mengalami kesakitan dimana seharusnya aku menderita.

Seraya menapaki trotoar pinggir jalan itu, aku mulai membayangkan hidup di kota besar dan menginap di sebuah hotel mewah. Tidak pernah terpikirkan olehku sedikitpun aku akan menginap di hotel semewah itu dalam hidupku. Aku bahkan ingin tidur disana selama sebulan tanpa memikirkan apapun. Kasur yang empuk dan luas, kelambu yang bersih dan pemandangan jendela menuju metropolitan di depan mata. Yang utama harus tenang. Ketika khayalan itu mulai terbentuk dan menyerupai sebuah kumpulan abstrak, ia kuwarnai dengan cat air dan menghiasnya di sana sini. Khayalan dan pikiranku tentang perundungan kota ini tumpang-tindih. Seperti dua makanan yang ditumpuk dan menghasilkan rasa yang aneh; tidak perlu dipikirkan. Lalu aku menikmati hilangnya sosokku pada pikiran itu.

Aku tetap berjalan dengan diam, tanganku masuk pada kedua saku di kanan –dan kiri jaket. Aku bahkan sampai lupa membawa syal di tengah dinginnya kota ini. Kau pasti bisa menebak, aku tidak punya uang yang berarti. Yang ada di sakuku hanya satu kertas yang cukup untuk membeli sebuah buku. Lebih dari itu, aku tidak punya apapun selain yang menempel pada tubuhku. Mengenaskan.

Aku berjalan melewati sebuah toko buah yang cukup unik. Disamping jalan yang lumayan besar dan padat itu, semuanya terang dibawah sorot lampu, toko buah itu seperti tokoh utama dalam bangunan yang berjejer-jejer mengikuti pola jalan raya. Biasanya buah-buah itu sudah dibungkusi dalam sebuah wadah dan dijual. Namun di toko itu, semua buah dijejer rapi dan kita bebas memilih. Aku melihat orang-orang yang memilih buah dan menciuminya satu persatu, memasukkannya ke kantong plastik dan menimbangnya. Buah itu dibayar sesuai timbangan, bukan jumlah. Aku tidak ingat pernah ada toko buah di jalanan ini, -tidak, aku bahkan ragu pernah melewati jalan ini. Disana, aku melihat sebuah jeruk berwarna orange yang mengkilat dan sangat bersih. Aku menatap jeruk itu dan terkagum. Wahh, kataku. Uap dari mulutku menyembur keluar karena hawa dingin disini. Aku masuk dan menatap jeruk itu. Tatapan yang tajam seperti Gorgon yang akan merubah lawannya menjadi batu. Jeruk itu di tata sangat rapi dan simetris tiap ukurannya. Benar-benar membuat hatiku damai. Aku bahkan memegang jeruk itu dan berpikir, ini ayah jeruk, dan yang ini ibu jeruk. Oh, yang kecil itu akan menjadi anak jeruk. Segala pikiranku hanya tentang jeruk mengkilap di depanku. Aku tidak tahan lagi, dan akhirnya aku membelinya, sebuah jeruk.

Jeruk itu aku genggam dan gesekkan pada kedua pipiku. Rasanya, demamku mulai kambuh dan muncul lagi. Tubuhku terasa panas dan paru-paruku mulai sesak. Aku menggenggam jeruk itu erat-erat. Dingin dari jeruk itu benar-benar nikmat. Masuk pada tubuhku melalui sela-sela tangan dan menenangkanku. Sejak kecil aku sangat sering demam, bahkan aku memamerkan demam ini pada teman-temanku, menyuruh mereka memegang dahiku yang panas. Namun disaat semua bagian tubuhku demam, tanganku tetap dingin, seperti dia yang satu-satunya waras dari semuanya yang sakit. Itu selalu terjadi padaku. Tanganku selalu dingin tiap waktu, dan semakin dingin bahkan membengkak waktu cuaca mulai lebih dingin dari tanganku sendiri. Teman-temanku sering menggenggam tanganku saat siang hari atau saat kepanasan. Hey, tanganmu selalu dingin, benar-benar nikmat. Benar, itu sangat nikmat, bahkan aku ingin memakannya.

Tidak jauh dari toko buah itu, ada sebuah minimarket yang menjual berbagai macam majalah juga. Aku langsung masuk dan melihat berbagai majalah disana; bahkan majalah yang sangat aku sukai pun sama sekali tidak bisa menembus hatiku saat ini. Aku benar-benar merasa aneh pada hatiku dan apa yang aku rasakan. Aku tidak memahami rasa sakit ini, semuanya abstrak dan hanya gumpalan dengan hiasan jelek di sana sini. Melihat majalah itu aku tiba-tiba menangis. Air mata mulai turun menuju pipiku dan berhilir di dagu. Tidak, itu tidak benar. Aku merasakan sakit, sakit yang menyiksa. Semuanya direnggut dariku dan aku tidak merasakan apapun –itu tidak benar. Jauh di dalam sana aku benar-benar sudah terbakar. Ada luka bakar di sekujur tubuhku. Aku menangis terduduk dan menggenggam jeruk di tanganku. Seakan-akan itu adalah jantungku yang harus aku lindungi. Tangisan itu diam tanpa suara –bahkan tidak ada yang tahu di mini market itu jika aku menangis. Aku mengusap air mataku dan mendekatkan jeruk itu ke hidung. Aku hirup dalam-dalam dan kurasakan aroma jeruk itu masuk dan menjalar ke seluruh tubuhku. Semua udara itu memenuhi paru-paruku. Tidak pernah aku bernapas sedalam itu selama yang aku ingat. Darah-darah mulai mengalir lebih deras, seperti membawa sebuah motivasi untuk bekerja lebih ekstra lagi. Membawa semangat baru.

Aku terpikir untuk meninggalkan jeruk itu disana, bersama dengan semua beban yang aku keluarkan dan aroma jeruk yang sudah aku hisap habis. Jeruk itu akan menikmati waktu-waktu terakhirnya di minimarket itu sampai ada seseorang yang menyadari dan membuangnya jauh-jauh. Aku akan mengenang bentuk jeruk yang bundar aneh ini sampai kapanpun. Aku buka lembaran-lembaran majalan itu dan kugeser beberapa majalah hingga menimbulkan sebuah ruang kosong untuk jeruk ini bersantai. Aku letakkan jeruk itu dan aku tersenyum puas. Kau akan tinggal di sini mulai sekarang, pikirku. Aku berjalan keluar dengan senyum mengembang pada wajahku, keluar dengan cepat dan langsung tertawa puas. Seandainya aku bisa melihat sebuah jeruk yang meledak, mengajak semua benda dan pegawai di minimarket itu meledak bersama, mungkin akan sangat menyenangkan. Bercak merah akan sangat berlimpah untuk melukis gumpalan-gumpalan aneh yang akan muncul pada waktu selanjutnya. Ini benar-benar menyenangkan.

ORANGE DAN KISAH-KISAH LAINNYAWhere stories live. Discover now