Day 9: "Kau Segalanya Buatku."

Start from the beginning
                                    


Marahnya Jiang Cheng mayoritas meledak-ledak, hampir destruktif, tapi tidak berlaku permanen. Namun, tetap ada kalanya ketika dia hanya diam, meredam semua gejolak itu dalam hati.


Yaitu sekarang.


Jiang Cheng tidak menuturkan apa-apa. Tidak berucap apapun. Dia hanya duduk, mengambil napas kemudian membuangnya keras-keras, sesekali memainkan cincin peninggalan Ibunda sebagai alternatif menyalurkan perasaan. Nie Huaisang, dari posisinya menunduk, mampu melihat percikan-percikan ungu mulai mencetus.


"Jangan," geram Jiang Cheng setelah terdiam lama, "aku memilihmu, aku mencintaimu, aku menikahimu," tekannya pada tiap kata, "aku tidak peduli pendapat orang. Kau istriku, kau pasanganku, aku tidak mau dan tidak berminat menikah lagi."


"Aku hargai itu, tapi—" Mendongak merupakan ide buruk, Nie Huaisang memalingkan muka cepat-cepat. "Jiang-xiong, cobalah realistis. Aku ini pria, aku laki-laki, aku tidak bisa memberimu anak. Siapa yang akan jadi Pemimpin Sekte Jiang nantinya—"


Sebelum Nie Huaisang selesai berargumen, Jiang Cheng memotong tanpa basa-basi, "Aku tahu kau laki-laki, apa persetubuhan kita selama ini kurang jelas?" ujurnya datar, abai pada warna merah yang mulai merambati rona, "dan aku tidak peduli. Aku punya tiga sepupu yang selamat dari serangan Qishan Wen, dua di antaranya menikah, sudah punya anak. Aku bisa menunjuk mereka."


"Itu tidak sama—"


"A-Sang!"


Bentakan Jiang Cheng membuat Nie Huaisang mundur beberapa senti. Ini bukan pertama kali, tapi setiap Jiang Cheng meninggikan suara, untuknya, hati Nie Huaisang selalu berdentum kencang oleh kekhawatiran. Takut telah menyinggung, takut telah melewati batas.


Jiang Cheng, di sisi lain, begitu melihat ekspresi Nie Huaisang, dia langsung bergeming di tempat.


Mereka sudah menikah selama tiga tahun, pertengkaran tentu mewarnai keseharian, bukan sekali dua kali dia berteriak, bahkan kadang sampai mengakibatkan Nie Huaisang menangis.


Namun tetap saja, Nie Huaisang yang takut padanya, membuat Jiang Cheng merasa jahat.


"A-Sang, maafkan aku," bisik Jiang Cheng rendah, menggeser tempat duduk hingga bersebelahan dan bukannya hadap-hadapan, "maaf. Aku tidak bermaksud, aku—" embusan kasar, "maaf."


"Bukan apa-apa," gumam Nie Huaisang sebagai balasan, sekali lagi menghindari kontak mata.


"Dengar, A-Sang," celetuk Jiang Cheng setelah helaan napas panjang nan dalam, "aku tidak berniat mengambil istri baru, karena kau sudah sempurna," dua tangan meraih pipi, membawa wajah Nie Huaisang mendekat, memaksa mata mereka bertubrukan, "kau tampan, cantik, baik, imut, kau segalanya yang kuperlukan. Nie Huaisang, A-Sang, aku menikahimu karena kau adalah kau. Aku mencintaimu karena segala perkataan pun perbuatanmu. Aku memperistrimu karena aku yakin Yunmeng Jiang tidak akan pernah semaju ketika kaulah yang mendampingiku—" senyum penuh afeksi terulas, "dan aku benar."


Nie Huaisang tidak membalas. Tidak bisa membalas. Mukanya merah terang, begitu jelas melapisi kulitnya yang putih pucat. Jari-jari Jiang Cheng mampu merasakan panas menjalari sensornya, berasal dari pipi yang dia pegang.


"Jiang-xioooong!" rengek Nie Huaisang malu, membenamkan diri pada bahu Jiang Cheng, "kau tidak bisa—tidak bisa tiba-tiba bilang begitu! Aku tidak siap!"


Jiang Cheng hanya tertawa, senang. "Jangan merasa tidak pantas lagi. Kau segalanya buatku, paham?"


Kumpulan silabel kikuk tanpa makna yang dikeluarkan Nie Huaisang dianggap sebagai tanda afirmasi oleh Jiang Cheng.

HALCYON - 30 Days Writing ChallengeWhere stories live. Discover now