“Gak masalah kok, Gracia. Kamu suka makanannya?”

“Suka kok.”

Shani berasa kayak es krim punya Stefi, meleleh liat senyum manis kesayangannya. Udah main klaim aja nih si Bos.

“Syukurlah,” balas senyum tak kalah manis juga dong.

Mereka lanjut makan diselingi obrolan ringan mengundang tawa bahagia soon to be keluarga kecil ini.

-

Shani menoleh ke bangku di sampingnya, menatap tenang gadis kecilnya yang terlelap nyaman dalam pangkuan ibunya. Jam-jam tidur sianganya si bocah.

Sehabis makan siang tadi, mereka berencana untuk singgah ke Malioboro. Mumpung jalanan lagi macet karena ada acara entah-apa-itu, jadilah dua orang perempuan ini diam-diaman saja sejak ditinggal tidur Stefi.

Shani berdehem pelan, namun cukup bisa menarik perhatian Gracia yang tengah melihat ke luar jendela mobil.

“Hum, kalau boleh tau, kamu asli orang Jogja kah?” Shani iseng bertanya. Bukan iseng juga sih, cumaa gak tau harus buka topik apa.

Alis Gracia naik satu mendengar pertanyaan itu. Kemudian tersenyum maklum. Menghela napas sebelum menjawab.

“Gak. Aku bukan orang Jogja asli. Aku lahir di Jakarta, tapi mencoba hidup mandiri di sini selepas SMA.”

Shani manggut-manggut paham. Tangan dan kakinya melanjutkan tugas menyetir mobil saat jalan di depan sudah terbuka, meski harus menekan rem lagi beberapa meter kemudian.

“Kamu merantau sendirian?”

Kali ini Shani yang mengangkat alis saat melirik Gracia yang tampak ragu untuk menjawab.

“Uhm, gak sendirian juga sih. Berdua bareng dia nih,” Gracia tersenyum kecil sambil mengelus puncak kepala putrinya.

Untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, Shani melihat senyum Gracia bukannya senang malah merasakan kepedihan. Hatinya seperti ada yang menyentil dengan paku.

Salah topik.

“Oh yaa hehehe. Maaf..” satu kata terakhir hanya bisikan napas yang tak mungkin bisa didengar.

Kecangungan kembali menyelimuti. Shani mengalihkan perhatiannya pada jalanan yang kembali terbuka, sementara Gracia tanpa sadar termenung sendiri meski sebelah tangannya masih mengelus puncak kepala Stefi.

“Hum, Gracia sama Stefi, selama di Jogja ini udah pergi jalan-jalan kemana aja?” Shani kembali mencoba peruntungan.

Jujur saja, lebih mudah menyelesaikan urusan kantor daripada membuka topik obrolan santai. Otak jenius Shani harus bekerja berkali lipat agar tak salah berucap. Gak mungkin juga terus mengandalkan Stefi untuk mencairkan suasana. Yah, bocahnya juga lagi tidur sih sekarang.

Gracia kembali tersadar dari lamunan. Pertanyaan Shani terdengar samar, tapi untungnya masih bisa menangkap maksudnya. Senyuman kembali hadir, namun tak menyiratkan kesedihan seperti sebelumnya.

“Gak banyak tempat sih. Yah, aku terlalu sibuk bekerja jadi jarang banget ajak Stefi jalan-jalan. Humm kebetulan beberapa hari lalu pas pulang kerja bareng Stefi, kami mampir ke alun-alun. Di sana juga aku beliin dia ini,” Gracia tersenyum di akhir ceritanya, sambil mengusap bando ungu yang dikenakan Stefi.

Mumpung masih macet, Shani mengalihkan pandangannya pada sosok di sampingnya itu. Rautnya ikut tersenyum, tapi sebenarnya menahan-nahan diri untuk tidak langsung membuka suara tentang bando yang ia pungut dulu. Bando yang hampir mirip.

Shani menganggukkan kepala.

“Hoo kalau gitu habis ini kita sering jalan-jalan aja. Nanti aku ajakin ke tempat-tempat wisata di kota ini atau ke kota lain. Eh jalan-jalan keluar negri juga, pasti seru gak sih! Kamu mau jalan-jalan kemana?” Shani dengan semangatnya mengajukan ide. Tanpa disadari juga gaya bahasanya tidak kaku lagi, jadi lebih santai.

Invisible String (with you)Onde histórias criam vida. Descubra agora