two

1.9K 242 50
                                        

Desy membereskan sisa makanan di atas meja. Setelahnya membuat dua gelas kopi dan membawanya ke ruang tengah apartemen milik Shani. Satu-satunya tempat yang hanya ia sendiri diberi izin oleh Shani untuk datang.

“Apa yang mau lo ceritain? Oya itu si Anin, ngamuk-ngamuk nyariin lo. Dia bilang kalo lo nyuruh dia buat gantiin lo ngurus perusahaan. Ada apaan sih?” tanya Desy penasaran sambil duduk di single sofa seberang Shani. Manik hitamnya melirik perempuan yang sudah ia anggap sebagai adik sendiri itu, menatapnya penuh selidik.

Kaget juga tak ada angin, tak ada hujan tetiba ditelpon untuk langsung datang ke sini. Beruntung saja kerjaannya sudah kelar dan Okta memberi izin untuk tidak pulang malam ini. Duh, agak gak enak juga ninggalin gadisnya itu di rumah. Masalahnya keluarga mereka sedang berkunjung.

Yah, Desy mau tak mau harus menemani Shani kalau dia minta ngobrol di apartemen ini. Bukannya apa, hanya saja ia tak ingin terjadi apa-apa sama adiknya ini. Shani kalau ada masalah, sukanya bikin pusing sekeluarga. Entah apa yang bisa dilakukan perempuan itu. Sejauh ini hanya dia saja yang lumayan bisa menenangkan Shani.

Shani mengambil cangkir kopinya, menyesap sedikit demi sedikit cairan pekat itu. Merasa sudah yakin untuk bercerita, ditaruhnya lagi gelas kopi di meja.

“Cici ingat ini?” Shani menunjukkan sebuah bando kecil berwarna ungu yang sudah lusuh. Mengabaikan soal Anin.

Pandangan Desy terlihat bingung pada benda di tangan Shani, tapi sesaat kemudian mengangkat kedua alisnya, teringat.

“Ya, eh...kirain udah ilang ntah kemana itu bando. Kok bisa ada lagi? Kapan nemunya? Dimana?”

Desy sampai sekarang masih penasaran dengan sejarah bando seukuran kepala anak kecil itu. Sudah lama sekali. Kalau tidak salah Shani menitipkan bando itu padanya sebelum ia menjalankan misi ke Thailand dulu. Sempat bingung juga saat itu, sejak kapan Shani punya bando-bandoan begitu? Tapi, perasaannya mengatakan kalau benda itu sangat berarti bagi Shani. Jadinya Desy menyimpan bando itu di satu kotak rahasia milik Shani di kediaman Natio.

“Beberapa hari yang lalu iseng ngeberesin barang-barang lama, trus nemu ini. Makasih Ci, udah nyimpen bando ini di kotak aku,” jawab Shani.

“Hooo oke-oke, your welcome,” Desy menunjukkan senyum kecilnya. “Terus, ada apa sama bando itu?”

Pertanyaan lainnya, Shani tak mungkin mengajak ngobrol kalau bukan hal penting. Apalagi tentang bando lusuh itu. Mungkin sekarang dia akan diberitahu ceritanya.

“Aku...aku udah nemuin pemilik bando ini, Ci.”

Ucapannya terdengar pelan namun masih bisa ditangkap pendengaran Desy, membuat perempuan yang lebih tua itu seketika mencondongkan tubuh. Kaget juga penasaran dengan sikap tak biasa adiknya ini.

Si super percaya diri Shani, terdengar ragu-tak meyakinkan akan dirinya sendiri.

Pandangan dalam Shani pada bando di tangannya terangkat, beralih memandang balik pada tatapan penasaran Desy, “Aku masih belum bisa mastiin, tapi perasaan aku ngeyakinin kalau dia adalah pemilik bando ini. Orang yang menjadi tujuan hidup aku. Si pemilik yang menjadi alasan buat aku terus hidup dan bertahan sampai detik ini.”

Mendengar pengakuan Shani dengan nadanya yang kini terasa meyakinkan, membuat raut serius dan penasaran Desy melunak. Akhirnya bisa paham betapa berharganya bando itu untuk Shani. Ah bukan bandonya, tapi si pemilik bando. Tak perlulah ia menanyakan secara detail alasan Shani itu, yang pasti sekarang satu tujuan yang jelas adalah menemukan si pemilik bando ungu.

Meski tidak tahu menahu siapa 'dia', tapi jika dengan bertemu 'dia' kehidupan Shani akan berubah menjadi lebih baik, apapun akan Desy lakukan.

Helaan pelan Desy lepas sebelum tersenyum manis pada sang adik.

Invisible String (with you)Where stories live. Discover now