Chapter 10 (J)

53 6 0
                                    

Gak tau lah. Pusing.

Lama-lama gue bisa gila kalau harus begini terus.

Kemarin, Septian marah sama gue dan Yeria. Selama setengah hari itu, ia sama sekali gak mau lihat kami. Mungkin ia tersinggung karena tertuduh sebagai Master.

Jujur saja, gue juga gak mau menuduhnya. Tapi entah mengapa, gue ngerasa ada sesuatu yang gak beres sama anak itu.

Septian itu anaknya penuh kejutan, gak bisa ditebak. Ia gak pernah mengungkapkan perasaannya, jadi kami tak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Selama lima tahun ke belakang, tepatnya setelah Ayah meninggal, ia suka mengurung diri di kamar.

Gue dan yang lainnya tak tahu apa yang ia lakukan. Kamarnya itu bagai tempat keramat, tak ada yang boleh masuk selain dirinya sendiri. Terlebih lagi, Septian sangat pintar dalam segala hal. Entah itu soal komputer atau menyusun rencana pembunuhan, ia terampil dalam hal-hal itu. Wajar saja kalau kami curiga, bukan?

Sampai sekarang, belum ada kabar dari Master. Setelah "hari tenang" kemarin, ia tak memberi tahu lebih lanjut mengenai permainan ini. Rasanya, ingin gue labrak dia, lalu membawa pulang Katy, Hendry, serta orang-orang tak bersalah lain yang ia culik.

Pagi ini, gue hanya sarapan berdua dengan Yeria. Septian tak kunjung turun dari kamarnya. Ah, roti lapis ini rasanya hambar jika anggota keluarga kami gak lengkap di meja makan. Gue hanya menggigit dan menelan, tanpa menikmati manisnya potongan-potongan roti itu.

"Bang," panggil Yeria disela-sela mengunyah. "Abang gak manggil Bang Septian turun?"

"Males. Kalau mau, lu aja yang panggil sana."

Yeria benar-benar melakukannya, padahal gue cuma menggertak. Ia berlari menaiki tangga. Suara nyaring dari sandalnya yang bertepukkan dengan tangga terdengar sampai ke ruang makan. Tak lama kemudian, Septian terlihat di ujung ruang makan mengekori Yeria. Saat melihat gue, ia berhenti melangkah. Tubuhnya ia putar 180°, lalu berjalan keluar.

"Ngapain lu? Gue udah selesai kok. Mau naik sekarang," ucap gue, setelah itu bangkit berdiri dari kursi makan.

Melihat gue keluar dari ruang makan, Septian akhirnya masuk. Saat berpapasan pun ia tak mau melihat gue. Angin lembut berdesir tipis saat gue melewatinya, terasa dingin dan hampa.

*****

Yadi menjemput gue untuk main basket bareng hari ini. Mobil sedan kesayangan gue lagi di bengkel. Kenapa? Ya karena sering ketabrak-tabrak akhir-akhir ini. Terutama saat mencari Katy. Hampir semua tong sampah, pembatas jalan, bahkan lampu merah gue terobos. Akibatnya, mobil itu sekarang penuh baret dan penyok.

"Mobil lu banyak ya, Ju. Emang manja aja lu, males nyetir."

"He'eh. Lagi pusing gue, Di. Kayak kagak ngerti situasi aja lu."

Soal Hendry, Yadi sudah gue kasih tahu. Tentu saja gue ngasih tahunya langsung, jadi Master gak bisa menggunakan skill nge-hack miliknya itu untuk menggrebek gue. Kemungkinan besar HP kami bertiga sudah diretas olehnya. Sudah gak aman lagi.

Di samping gue, Yadi menggenggam roda kemudi. Sesekali ia menoleh, melihat gue yang termenung. "Udah, sabar aja. Gue juga bingung musti gimana. Kita gak bisa ngapa-ngapain juga," ungkapnya.

Kami sama-sama gak tahu mau ngomongin apa, jadi hanya radio mobil yang berkicau. Gue juga lagi gak mood karena kemarin berselisih paham dengan Septian, jadi malas ngomong.

Post a Picture [JinJiChan]Where stories live. Discover now