Chapter 5 (Y)

60 8 0
                                    


Semuanya membingungkan, seperti mimpi. 

Apa-apaan? Tiba-tiba saja Mbak Katy menghilang, lalu akun yang menyebut dirinya sendiri "Master" itu mengumpulkan kami bertiga dan mengancam akan membunuh pacar abangku itu.

Aku tak akan termakan omong kosong akun bodong itu. 

Tapi bagaimana jika ia benar-benar telah menculik Mbak Katy, dan akan menculik teman-temanku juga?

Sial. Aku jadi takut.

Dengan tak sedikit pun semangat melekat di tubuhku, aku berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka.

"AAAAAA!!! ASTAGAAAA!!!"

Aku tak bisa mempercayai apa yang kulihat di cermin. Apakah cermin di kamar mandi Bang Juan rusak, atau memang mataku ini bengkak parah?

"KENAPA? ADA APA, YER?!"

Bang Juan dan Bang Septian lari berhamburan ke kamar mandi. Wajah mereka berdua panik. Lagi-lagi, sepertinya teriakanku terlalu keras.

"Ini loh, Baanggg! Mataku bengkak banget gara-gara kemarin nangis sebelum tidur! Aduh, aku gak bisa ke sekolah kalau begini caranyaaa!!!"

Kedua abangku itu melepas napas lega. Raut wajah mereka seketika berubah menjadi pahit.

"Gak usah teriak-teriak, bener dah, Yer. Lu kan tahu situasinya gimana sekarang," ucap Bang Septian. "Kita jadi panik, ngira lu kenapa-kenapa."

Aku menghentakkan kaki, keluar dari kamar mandi di kamar milik Bang Juan. Ih, menyebalkan. Hanya karena Mbak Katy hilang semalam, aku jadi ikut terbawa masalah ini. Padahal, aku tak begitu dekat dengannya. Malah aku sedikit jengkel dengan pacar abangku itu.

Sejak bertemu Mbak Katy, Bang Juan menjadi lebih cuek terhadap keluarganya. Seolah-olah hidupnya berporos pada Mbak Katy. Bucin, itu lah definisi yang tepat untuk Bang Juan.

Setelah selesai bersiap-siap untuk ke sekolah, aku dan Bang Septian segera melangkah ke garasi. Kami biasa berangkat bersama, diantar oleh Pak Nurdin, supir kami.

"Sep, Yer, tunggu."

Bang Juan mencegat kami saat hendak memasuki mobil.

"Hati-hati. Kalau ada yang aneh, kabarin gue. Hari ini gue gak ada kelas. Sebisa mungkin gue pantau si Master," pesannya.

Aku dan Bang Septian mengangguk taat.

Ah, melelahkan. Belum sampai di sekolah saja aku sudah merasa penat. Harusnya aku bolos saja hari ini, tetapi Bang Juan tak mengizinkan.

Sepanjang perjalanan ke sekolah, suasana di dalam mobil hening. Biasanya, aku mengobrol sedikit dengan Bang Septian. Entah itu tentang guru-guru, pelajaran, atau urusan rumah. Hari ini, hanya deru mesin mobillah yang terdengar.

Tatapan kakakku itu kosong. Matanya tertuju pada jendela mobil, tak bergerak sedikit pun. Tangannya menopang dagunya.

"Bang..." ucapku, gemetaran.

Bang Septian menoleh.

"Kalau Bang Sep makan sama aku pas istirahat, mau gak?"

Sepertinya ia kaget mendengar permintaanku itu. Aku terlalu takut untuk makan sendiri, atau hanya bertiga dengan Windy dan Marissa. Jika bersama Bang Septian, mungkin aku akan merasa lebih aman.

Post a Picture [JinJiChan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang