SA1 - Jarak Antara Kita

10.4K 1.2K 956
                                    

PLAGIAT DILARANG MENDEKAT!
Cerita ini dilindungi undang-undang. Tidak diizinkan mengcopy, menyadur, dan menulis-ulang cerita saya di manapun. Bila melakukan hal tersebut, saya berhak melaporkan pelaku pada pihak berwajib.

 Bila melakukan hal tersebut, saya berhak melaporkan pelaku pada pihak berwajib

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


SA1. Jarak Antara Kita


So sorry, kayaknya beberapa teman kesulitan nemuin love oranye. Jadi, kalian tetap bisa pakai orange atau yellow love, kok. 2 warna itu juga representatif lapak Cia. Dont forget to give your 🧡🧡💛💛 then!


S&K :
—still 400 votes and comments—
to open next part.

Happy reading, Orllow Squad!



🍁🍁🍁
Melepaskan bukan berarti melupakan.
Terkadang, seseorang hanya membutuhkan alasan.
Agar tak terperangkap dalam duka sendirian.
-Fabian Khasava Rakitic




"Enggak tahu. Terakhir kali aku ketemu, ya, di pernikahannya Kak Fa. She looks fine, tapi Kakak yang paling tahu bahwa baik-baik saja versinya itu terlalu abu. Dia seperti biasa, masih tertawa, kelihatan bahagia. Aku enggak bisa menebak bagaimana perasaannya, Kak. Setelah itu, tidak ada kabar lagi. Dia menghilang. Bahkan Kak Fa pun enggak tahu." Penjelasan panjang dari Fania dua bulan lalu masih terngiang di telinganya.

Dia pasti baik-baik saja, apalagi sudah ada orang yang menggantikan tempat itu di hatinya.

Pemuda dengan kemeja putih itu menarik napas pelan. Sekali lagi, kalimat Fania mengambil semua atensinya. Membuat putra sulung Ravindra itu memutar kursi, menatap jendela kaca di belakangnya yang menampakkan gedung-gedung pencakar langit dengan mentari yang telah berada di garis horizonnya. Ah, the dusk is coming.

"Have you finished your work before daydreaming here, Mr. Fabian?" Pertanyaan dari suara bariton itu membuat Fabian berdecak.

"I have and you can go," jawabnya singkat disambut kekehan pelan dari sosok yang selama hampir sepuluh tahun belakangan ini mengganggunya.

Suara kursi berdecit membuat Bian menoleh. Sosok itu duduk di sampingnya, bersedekap santai, seraya menatap jingga yang mengintip dari celah kaca bangunan di depan mereka. Untuk Bian, bersahabat dengan pemuda di sebelahnya dalam waktu yang lama adalah sebuah keajaiban.

Mereka sangat berbeda, mulai dari prinsip hingga daftar favorit –hanya basket satu-satunya yang menyatukan–, tetapi saling mengerti tanpa harus diberitahukan lebih dahulu dan menghargai satu sama lain. Dan, jika Bian harus mengatakan siapa orang yang paling mengenalnya, maka ia akan menyebutkan satu nama. Shazad Axel Sambara orangnya.

Selain dia.

"Mau sampai kapan?" Pertanyaan itu muncul lagi setelah sunyi yang menjeda.

"Apa?" Bian mengerutkan dahi. Tak mengerti maksud ucapan Axel.

Selaksa Asa [TERBIT]Where stories live. Discover now