Menggeleng - gelengkan kepalaku karena aku tak punya petunjuk apapun tentang cincin ini selain kecurigaan yang menyesatkan. Ingin bertanya pada Ayu atau Mbok Sinem, aku juga tidak berani. Takutnya mereka berpikir yang tidak - tidak. Dahulu saja aku hampir kena tampar oleh Kanjeng Praya karena disangka menggoda Pangeran Anusapati.

Nah, sekarang mungkin aku akan dicambuk atau diarak massa karena dianggap merebut suami bangsawan. Harap diingat di zaman ini aku bukan ASN sekaligus guru yang patut digugu dan ditiru, tetapi pelayan dengan kasta terendah. Ngomong - ngomong bagaimana kabar Pangeran Anusapati sekarang yaa? Walau aku yakin sifat pemarahnya akan tetap bertahan dan tak pernah pudar.

"Kalau kau terus melamun, yang ada bukan daun singkong yang kau potong tetapi jarimu sendiri, Rengganis!" ucap Ayu yang menyadarkanku dari keruwetan pikiranku.

"Jangan banyak berpikir yang berat - berat, Nduk. Kau masih muda jadi nikmati waktumu. Walau kita pelayan tapi seperti kata Ndoro, kita ini tetap manusia," sambung Mbok Sinem bijak.

Memandangnya agak lama dan rasa keingintahuanku muncul "Mbok Sinem sudah lama bekerja di sini?" tanyaku tenang.

Terkekeh sebelum menjawab "Dulu Mbok bekerja di kediaman Ndoro Bango Samparan dan Mbok juga yang mengurus Raden Panji Kenengkung sejak kecil. Setelah beliau menikah lalu Mbok dibawa ke sini dan ikut mengurus Raden Reksa."

"Oh, begitu. Berarti Mbok ta____"

"Bibiiii!" teriakan Reksa memasuki ruangan berhasil membuatku menghentikan perkataanku.

"Raden sudah pulang?" tanyaku agak heran karena ini masih siang, padahal biasanya dia baru tiba di rumah saat hari sudah sore.

Matanya menyipit menatapku "Kenapa memangnya jika aku pulang cepat, Bibi? Kau terganggu karena kehadiranku di rumahku sendiri?" tanyanya balik.

Nah, apa aku bilang, menghadapi Reksa cukup menguras otak. Dia kadang mudah berprasangka buruk. Tapi sekali - kali cukup menyenangkan saat kita bisa mempermainkannya. Anak - anak dan pemikirannya selalu menjadi hiburan tersendiri bagiku, entah di masa depan ataupun di masa ini.

"Hmm... benar karena Raden bau matahari," ucapku sambil pura - pura menutup hidung.

"Ck, laki - laki memang harus begini! Lebih aneh jika aku berbau bunga atau bumbu dapur!" ucapnya kesal sambil melipat tangan di dada, walau nyatanya wajahnya ikut memerah.

Berdiri dan pura - pura mengabaikannya "Hamba akan siapkan air mandi untuk Raden, setelah itu Raden bisa makan siang."

"Bibi sudah buatkan kudapan untukku kan?" tanyanya sambil mengikutiku.

"Nanti sore, sekarang Raden hanya boleh makan makanan yang sudah dimasak oleh Mbok Sinem. Titik!"

"Jika aku tidak mau makan bagaimana?"

"Raden akan kelaparan, padahal hari ini Mbok Sinem memasak makanan kesukaan Raden Reksa," ucapku sambil menahan tawa karena seorang Reksa hanya akan berhasil dibujuk dengan dua cara yaitu kitab atau makanan. Murahan... murahan...

"Bibiiiiii!!!" teriaknya kesal dan berhasil membuat bibirku tertarik membentuk senyuman.

"Apa?" jawabku tetap tenang dan berjalan keluar pendopo, tentu mengabaikan Reksa yang mulai menghentak - hentakan kaki karena kesal.

Tantrum dan anak - anak memang tidak terpisahkan. Tantrum umumnya disebabkan oleh terbatasnya kemampuan bahasa anak untuk mengekspresikan perasaannya. Sehingga mereka hanya bisa meluapkan emosinya dengan cara meronta, berteriak, menangis, menjerit, serta menghentakkan kedua kaki dan tangannya ke lantai. Pada kasus tertentu, tantrum pada anak mungkin bisa disebabkan oleh gangguan perilaku atau masalah psikologis.

SINGASARI, I'm Coming! (END)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora