Part 7

70 13 1
                                    

Sebuah mobil sport berhenti di parkiran panti asuhan, pemiliknya buru-buru turun dan berlari ke dalam panti.

"Kak Awan!!!!" Sapa salah satu anak panti yang yang berlari menyambut kedatangan pria itu.

"Hey, jangan lari-lari, nanti jatuh!" Awan merentangkan kedua tangannya menerima tubuh mungil bocah cantik itu.

"Kok tumben ke sini lagi, Kak?"

"Kaka baru pulang dari luar kota. Maaf ya jadi jarang ke sini," ucap Awan sembari memberi kecupan pada bocah cantik yang sudah seperti adik kandungnya.

"Na, Bunda ada di dalam, kan?"

"Iya, Kak. Ada."

"Kalau gitu, kakak tinggal bentar ya, mau ketemu Bunda dulu."

"Oke, Kak."

Gadis cilik yang tepatnya bernama Kirana itu melepaskan Awan setelah memeluknya sejenak, dia memang sudah merindukan sosok abang itu. Awan mengusap rambut hitam panjang Kirana sebelum dia benar-benar meninggalkannya menemui wanita paruh baya yang dipanggilnya dengan sebutan bunda, siapa lagi kalau bukan bu Halimah.

"Assalamualaikum.."

"Wa'alaikumsalam....!!"

Jawaban salam terdengar dari ruangan yang Awan sangat hafal ruangan apa itu, dapur panti, jawabannya.

"Eh, ada anak bunda ke sini, kapan pulang, Nak? Biru bilang kamu ke luar kota?"

Halimah memberi pertanyaan beruntun pada pria yang berjalan ke arahnya, mengulurkan tangan lalu mencium punggung tangannya kala membalas uluran tangan pria itu.

"Barusan banget, Nda."

"Ayo duduk dulu!"

"Iyah, Bunda lagi sibuk, ya?"

"Ndak kok, biasalah, buat cemilan untuk adik-adik. Oh iya, mau minum apa?"

"Ga usah repot-repot, Bundaku. Awan ga haus kok, nanti biar Awan buat sendiri aja."

Halimah tersenyum. Tapi dia tetap meninggalkan Awan sebentar ke dapur dan kembali keluar dengan sepiring pisang goreng hangat yang ia goreng bersama salah satu rekannya yang memang bertugas di dapur, bu Darmi, namanya.

"Nih cobain dulu, pisang goreng ala bunda, masih suka makan masakan bunda, kan?"  Halimah menyodorkan pisang goreng pada Awan dan pria itu tersenyum.

"Masakan Bunda ga pernah ada tanding nya, apapun itu, Awan pasti suka, Nda."

"Kamu ini..." Halimah mengusap kepala pria 27 tahun yang dulu ia besarkan dengan setulus hatinya.

"Kamu ndak  capek, abis dari luar kota langsung ke sini?" Masih menatap Awan dengan penuh kasih sayang, yang ditanya buru-buru melahap potongan pisang goreng di tangannya.

   "Sampe lupa tujuan Awan ke sini," pria itu mengusap mulutnya dengan tisu yang tersedia di atas meja, "kata Rizwan, Biru masuk rumah sakit lagi, ya?"

"Owh.. Jadi kamu buru-buru ke sini karena info itu, kirain karena kangen sama bunda, huh..." pura-pura cemberut.

"Bunda... Ya kangen sama Bunda juga lah," Awan mengusap tangan sang malaikat yang sudah ikhlas merawat dan membesarkan dirinya itu, "tapi kan, posisinya Biru lagi sakit, Awan khawatir sama dia, itu sebabnya Awan buru -buru balik dari luar kota dan langsung ke sini."

Halima terkekeh, mencubit daun telinga putranya yang pandai merayu.

"Kamu ndak perlu khawatir sama adik kamu itu, dia sudah baik-baik saja, bahkan sangat baik-baik saja karena dirawat langsung oleh Suaminya." Senyum di bibir Hakim terbit begitu saja mengingat kejadian yang membuat putrinya mendadak mendapatkan suami yang memang sangat mencintainya.

Tapi tidak untuk Awan, pria itu tercengang. Dia mematung dengan hati yang sudah berkecamuk dan jantung berdebar.

"Su-Suami? Mak-maksud Bunda apa?"

Awan menatap penuh tanda tanya pada wanita paruh baya itu, jangan lupakan, tangannya sudah berkeringat sejak Halimah selesai bercerita tadi.

"Astaga.. Bunda lupa kabarin kamu, itu dadakan sih, adik kamu sudah menikah dengan seorang Dokter yang baik dan pastinya bunda yakin dia sangat menyayangi adik kamu," terangnya panjang lebar.

Awan menggeleng, berniat tak percaya namun itulah kebenarannya.

"Ja-jjadi, Biru sudah menikah? Kapan?"

"Di hari dia dilarikan ke rumah sakit. Kamu kan tau sendiri bagaimana sifat adik kamu itu, lebih baik kesakitan daripada ditangani oleh Dokter yang bukan mahromnya. Masyaallah, Allah maha mengatur segalanya, tanpa siapapun yang merencanakan, hari itu hanya ada satu Dokter yang punya waktu lenggang, ya dia, Dokter Langit, suami adik kamu."

"Langit?" ulang Awan meyakinkan yang ia dengar tadi.

"Hmm, nak Langit bersedia tanpa ragu menikah dengan adik kamu demi bisa menanganinya."
Setiap kali mengingat kejadian itu, Halimah tersenyum bahagia, dan itulah yang dilihat Awan sekarang, senyum bahagia dan bangga dari Halimah ketika menceritakan sosok Langit padanya.

"Kamu seharusnya juga cepat cari calon istri, Nak. Bunda kan sudah tua, sudah waktunya nimang cucu dari kalian." Halimah menyikut lengan Awan, membuat pria itu tersadar dari pikirannya yang kacau, lalu dengan sangat terpaksa mengulas senyum manis pada paruh baya itu.

"Awan belum ketemu siapa calonnya," balas Awan kemudian.

"Jangan kalah sama adik kamu dong, Nak." Halimah lagi-lagi menggodanya, wanita paruh baya itu sama sekali tak melihat melihat luka di manik mata putranya.

    Dua jam berlalu, sekarang Awan sudah ada di depan rumah berlantai dua yang halaman depannya cukup asri dan menyegarkan penglihatan. Siapapun akan tau kalau pemiliknya pasti gemar bercocok tanam.

Sudah sekitar lima belas menit dia memarkirkan mobil sport nya tak jauh dari gerbang coklat itu. Matanya terus menatap ke depan, dengan harapan bisa melihat gadis yang teramat ia rindukan.

"Kenapa, Tuhan? Kenapa bukan Awan yang kau sandingkan dengan Biru, bukankah di atas sana kami selalu hidup berdampingan dan melengkapi keindahan alam-Mu? Kenapa harus Langit??"

Berkali-kali pria itu memukul kemudi mobil, hatinya saat ini mungkin sudah seharusnya dilarikan  ke ruang Ugd. Bagaimana bisa dia tak sehancur itu, gadis yang entah sejak kapan ia cintai, kini sudah dimiliki orang lain.

Dia dan Biru tumbuh di tempat yang sama, kemana-mana selalu bersama, sampai pada akhirnya dia mendapatkan keluarga baru yang begitu menyayanginya.

Fokus Awan kembali pada gerbang coklat, saat gerbang terbuka dan menampilkan tubuh gadis dengan balutan jilbab berwarna jingga. Tangan gadis itu membawa semprotan air yang siap di semprotkan ke bunga-bunga yang memang sengaja di tanam di samping gerbang.

"Biru?"

Awan memutar kunci mobil, berniat mendekat dan menghampiri Biru. Sayangnya, dia harus kembali menahan diri karena seorang pria yang sebaya dengannya telah berdiri di samping Biru, berusaha mengambil semprotan dari tangan Biru.

"Ga pa-pa, Mas.. Biru udah baikan, kok."

"Tapi ini bukan kerjaan kamu, Biru!!! Nanti biar bibi aja yang siram. Lagian, mama udah tugasin bi Hanum untuk siramin bunga-bunganya setiap pagi dan sore. Kamu istirahat aja, ya."

Dialog singkat itu terdengar jelas di indra pendengarnya, lalu tanpa ba-bi-bu lagi,Awan melajukan mobilnya dengan kencang, menjauh dari dua sejoli yang membuat hatinya terbakar api cemburu.

_____

Selamat membaca😘
Jangan lupa vote coment dan follow.

Bluesky ✔️ (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now