Part 5

84 14 1
                                    

POV Biru.

Namaku Biru, Biru Irsyani Aulia. Akrabnya dipanggil Biru. Nama yang aneh bukan? Tapi bagiku, itu unik dan aku suka.

  Aku dibesarkan dalam lingkungan panti yang penuh akan suka dan duka. Kehilangan kedua orang tua saat masih butuh kasih sayang itu memang menyakitkan, aku benar-benar tak punya siapa-siapa lagi setelah mereka tiada. Tapi Tuhanku maha baik, Allah mengirimkan wanita terhebat dalam hidupku, yang sekarang ku panggil dengan sebutan Bunda.

Bunda selalu ada untukku, merawat serta membesarkanku dengan penuh kasih sayang di Panti Asuhan Kasih Ibu yang menjadi saksi bisu perjalanan hidupku dan adik-adik.
Bunda adalah segalanya untukku, hanya bunda yang mengerti bagaimana aku. Aku menyayanginya, sangat, dan ku yakin, bunda juga demikian.  Termasuk kaitannya dengan namaku, bunda selalu menanjungnya. Itulah sebabnya aku senang dengan namaku, Biru.

Kata bunda, dalam warna, biru bermakna ketenangan, keindahan dan kelembutan. Yah.. meskipun aku sendiri tak yakin sifat yang warna biru miliki akan ada pada diriku yang kebetulan diberi nama itu. Bunda pernah menghiburku saat aku mengeluhkan nama panggilan yang membuat ku diejek oleh salah satu abang kami dipanti, kata bunda...

Laut tanpa warna biru, keindahannya berkurang. Langit tanpa warna Biru tak akan terlihat cerah dan indah. Mendengar itu, aku tak pernah sedih lagi kala ada yang mengejek namaku. Aku bangga dengan namaku, aku bangga karena warna biru memberikan keindahan pada langit dan laut.

Tapi....

Ku angkat kepala sejenak, menengadah ke langit yang cerah dan berwarna biru. Langit di atas sepertinya begitu bahagia disandingkan dengan biru. Sayangnya, Langit di dekatku sekarang ini, sepertinya begitu suram setelah bersanding denganku. Ya, entah kebetulan atau memang sudah ditakdirkan, aku menjadi istri pria yang bernama Langit.

Cukup serasi, bukan? Biru bertemu dengan Langit. Seharusnya, seperti yang Bunda katakan, Langit akan lebih cerah dan indah jika disandingkan dengan Biru. Sayang, mas Langit sepertinya tak begitu. Mas Langitku terlihat muram dan banyak pikiran setelah dia memutuskan menikah denganku. Aku tau, mungkin semua ini berat baginya, harus berstatus suami untuk wanita yang bahkan kami kenalan saja setelah pernikahan terjadi. Ini bukanlah kisah perjodohan yang tak saling kenal sebelumnya, seperti kisah-kisah yang ku baca di novel-novel dan juga drama yang pernah ku tonton di film-film salah satu chanel tv yang sedang viral sekarang, kalian tau kan yang ku maksud?.

Pernikahanku dan mas Langit terjadi karena aku sendiri. Aku tau aku salah karena menyebabkan ia terikat denganku. Tapi, apakah aku salah jika berusaha menjaga diriku agar tak tersentuh yang bukan mahramku,karena mungkin saja saat itu adalah detik-detik terakhirku melihat indahnya dunia.

Saat itu aku sudah pasrah, sudah menyerah pada takdir apapun yang akan terjadi padaku. Rasa sakit yang kurasa untuk kesekian kalinya datang menyiksa. Aku sedih melihat bunda terus saja susah dan repot karena aku, bunda terus saja kesusahan mencari uang untuk biaya rumah sakitku yang sudah sering kali bolak-balik. Hingga akhirnya aku merasakan sakit yang luar biasa, di mana saat itu aku yakin ada malaikat izrail yang menungu perintah untuh mencabut nyawa ini. Bunda membawaku ke rumah sakit meskipun sebelumnya aku menolak.  Ternyata aku salah,Tuhanku yang maha baik punya rencana lain di balik rasa sakit itu.

Kenapa demikian?

Karena saat aku yakin ada malaikat di sampingku, aku menolak untuk ditangani seorang dokter yang parasnya begitu rupawan. Aku takut itu adalah detik-detik terakhirku tapi aku membiarkan yang bukan mahram menyentuhku, meskipun ku tau tujuannya baik dan darurat,aku tetap bersikeras. Sayangnya, aku ssalah, pria itu ternyata bukan hanya seorang dokter biasa, dia jelmaan malaikat.

Telingaku jelas mendengar dia mengatakan akan menikahiku demi bisa menangani aku dengan baik. Meskipun sebelumnya aku berniat menolak. Tapi, pada akhirnya, di sinilah aku sekarang, di halaman belakang rumahnya,tinggal satu atap dengannya karena ikatan suami-istri.
Malaikat itu adalah mas Langit, Suamiku.

Rasa bersalah memenuhi relung hati ini setelah melihat kenyatan yang sebenarnya. Mas Langit ternyata sudah memiliki kekasih, cantik sekali, dan...jauh berbeda denganku yang memang terbiasa seperti orang kampung ini. Mba Laras, cantik. Pantas saja mas Langit menjadikannya kekasih, pastinya dia juga sangat berharap memiliki mba Laras seutuhnya dengan menikahinya. Aku merasa bersalah di sini, karena aku, mas Langit harus berbohong pada mba Laras, kalau aku ini hanyalah anak bi Hanum, pembantunya.

Dan hal yang paling membuat aku merasa bersalah adalah ketika mba Laras meminta sesuatu padaku. Dia memintaku untuk tak jatuh cita pada mas Langit ,dan bodohnya aku mengiyakan itu. Padahal...tanpa siapapun tau, entah sejak kapan rasa ini ada. Mungkin saat mas Langt selesai mengucapkan ijab qobul yang samar-samar ku dengar? Atau mungkin saat dia merawatku di rumah sakit? Atau...saat dia duduk di sampingku saat di mobil. Entahlah, aku tak yakin kapan rasa ini tumbuh untuknya. Seharusnya aku bisa menjaga hatiku agar tak jatuh cinta padanya. Walaupun dia sekarang adalah suamiku, tetap saja aku tak berhak mencintainya kerena mas Langit menikahiku karena dia kasihan saja, bukan karena dia mencintai aku. Dasar Biru, mudah sekali jatuh cinta padanya.

''Biru!''

Suara di belakangku membuatku berbalik mencari sumbernya yang sudah mulai tak asing lagi di Indra pendengaran ini.

''Mas Langit? Ada apa,Mas?''

Ya, itu dia, Suamiku.

''Kenapa ada di sini? Kamu harus banyak istirahat, lho. Di luar angin, nanti kamu masuk angin,'' omelnya sembari terus berjalan ke arahku.

''Hehe, maaf, Mas. Biru hanya bosan saja di dalam, duduk di sini melihat bunga-bunga punya mama buat Biru betah di luar.''

''Tapi kamu kan masih dalam proses pemulihan, Biru... Apa kamu mau sakit, lagi, hmm?''

Aku hanya membalas dengan senyuman, mas Langit begitu baik dan perhatian, bagaimana bisa aku dapat mencegah rasa ini tumbuh utuknya. Aku hanya wanita lemah yang akan baper jika diperlakukan seperti ini.

''Mas kenapa ga ke rumah sakit?'' Tanyaku mengalihkan perhatian.
Jelas ku lihat raut mukanya berubah sedih. Kenapa? Apa aku salah bertanya? ku rasa tidak, ini hari kerja dan dia tak bekerja,wajarlah jika aku bertanya begitu. Lalu kenapa mas Langit jadi sedih?

''Ada Salsa di sana yang menggantikan aku sementara. Aku juga harus istirahat dan menjaga kamu di sini.''

Gleg! Ku teguk salivaku dengan susah payah. Jadi aku alasan kenapa mas Langit tak ke rumah sakit. Jadi, aku yang buat dia sedih karena terkurung serumah denganku. Tuhan...lagi-lagi aku membuat kesalahan untuknya dengan menjadi beban seperti ini.

"Ayo masuk, di sini panas juga," ajaknya membuyarkan lamunanku.

"Oh, iya, Mas."

Tak ingin menambah rasa bersalah dengan membantahnya, aku mengiyakan saja apa yang ia katakan, toh dia juga suamiku, yang harus aku patuhi.

"Kamu boleh istirahat di kamar, atau nonton tv."

"Iya, Mas."

"Oh iya, kata Bunda, kamu suka baca novel ya?"

Aku meliriknya sejenak, dia mengangkat sebelah alisnya menunggu jawaban.

"Iya, ternyata Bunda ceritakan itu pada kamu, Mas."

"Hehehe, aku yang nanya, sih. Abisnya aku takutnya kamu bosen di sini, makanya ku tanya Bunda apa yang biasa kamu lakukan. Yah..yang bisa nemani selama proses penyembuhan."

Aku memasang senyum termanis untuknya. Tuhan, pria ini begitu baik,andai saja dia mencintaiku juga,pasti rasanya indah sekali.

"Aku sudah belikan beberapa novel dan ku taruh di kamar, semoga kamu suka, ya."

Hah? Aku menatapnya tak percaya, sungguh dia sangat baik.

"Kenapa? Ada yang salah?" Tanyanya heran dan aku hanya bisa membalas dengan gelengan kepala.

"Terima kasih,Mas."

"Sama-sama."

Setelah mengucapkan itu, dia berlalu ke ruang kerjanya, dan aku masih menatap punggungnya sampai dia menghilang di balik pintu. Lalu buru-buru ke kamar untuk melihat novel yang suamiku belikan.

Bluesky ✔️ (Sudah Terbit)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ