Hello Goodbye - W

29.7K 3K 98
                                    

Suara ponsel yang sejak tadi berbunyi terus terang saja menciutkan Indira yang bersembunyi di dalam selimutnya. Dering suara ponsel bertuliskan nomor dan nama Ayah nya agaknya sudah bisa ditebak Indira ke mana arahnya.

Namun setelah berusaha ia diamkan, panggilan itu tak juga berhenti berdering hingga Indira dibuat frustasi sekaligus ketakutan. Mendudukkan diri, Indira lantas meraih ponsel dan berupaya menarik dan menghembuskan napas secara teratur beberapa kali. Dengan keyakinan yang sesungguhnya tak jua datang, akhirnya Indira memberanikan diri menggeser panel hijau pada ponselnya. Berupaya menerima segala konsekuensi atas kekecewaaan kedua orang tuanya, jika tebakannya benar.

"Halo Mbak."

Matanya terpejam kala mendengar kembali sapaan lembut dari Ayah nya di seberang line.

"Halo Yah."

"Syukurlah Mbak angkat teleponnya Ayah. Ayah udah panik banget daritadi kok Mbak nggak angkat-angkat." Ada gestur suara penuh kelegaan dari Ayahnya yang mau tak mau membuat Indira merasa berdosa karena sempat ingin mengabaikan saja telepon tersebut. "Mbak sehat nggak? Gimana kabar Anggara?"

Inilah yang selalu ditakutkan oleh Indira. Ia mengerti betul bagaimana dekatnya Anggara dengan Ayahnya. Dan ia bahkan tak sanggup membayangkan bagaimana kecewanya Ayah serta Ibunya jika pada akhirnya mereka tahu hubungan rusaknya bersama Anggara akibat adanya pihak ketiga.

"Mbak sehat, Yah. Ayah sama Ibu gimana? Kok Ibu nggak ada suaranya, Yah?"

"Ayah sama Ibu sehat, Mbak. Ibumu lagi nyiapin bahan buat jualan besok. Kata nya mau coba bikin tahu bakso." Kekeh sang Ayah lembut dan ikut pula memancing senyum di bibir Indira. "Anggara mana? Lembur lagi?"

Senyum di bibir Indira musnah, tergantikan oleh raut pucat sekaligus ketakutan. Ya Tuhan, bagaimana ini? Apa yang harus ia katakan pada Ayah dan Ibu tentang keretakan rumah tangga yang selama lima tahun ini diarunginya bersama Anggara?

"Mbak? Halo?"

Tanpa sadar Indira terdiam lama hanya karena sebuah pertanyaan sederhana dari Ayahnya. Indira tahu kalau sebaiknya ia terbuka mengenai kondisinya bersama Anggara. Tapi ingin rasanya ia berbohong saja demi kebahagiaan orangtua nya meskipun itu hanya kesemuan belaka. Apakah jika ia berbohong, orang tua nya akan selama nya bahagia karena berpikir anak dan menantunya hidup harmonis selama pernikahan mereka? Dan apakah jika ia jujur Ayah dan Ibu akan senantiasa mengerti dengan alasan perpisahan yang telah ia pilih sebagai jalan keluar?

"Mbak, cerita sama Ayah. Ada apa? Kamu berantem sama Angga?"

Senyum getir melingkari bibir Indira. Insting orang tua memang hampir tidak pernah salah. Terlebih ini Ayah, sosok lelaki yang bisa dibilang hampir jarang menanyakan hal remeh seperti ini padanya. Namun kendati demikian, Ayah adalah sosok lelaki paling penuh cinta yang pernah Indira temui selama ia hidup. Dedikasinya pada Ibu dan juga dirinya serta keluarga kecil mereka layak diberi acungan dua jempol. Dulu, Indira selalu mengidolakan kehidupan rumah tangga yang dijalani dan dilakoni oleh Ayah dan Ibunya. Dirinya bahkan nyaris seratus persen mencontoh tingkah laku Ibunya sebagai seorang istri. Namun sekali lagi, garis takdir tidak ada yang pernah bisa menduga. Jika orangtua nya nyaris memasuki masa emas sebuah pernikahan, Indira bahkan tidak mampu melewati masa perak perjalanan sebuah rumah tangga. Semuanya lebur dan hancur berkeping karena alasan klasik, yaitu wanita idaman lain.

"Mbak...nggak tau harus cerita darimana, Yah." Lirih Indira sendu. Menceritakan permasalahan dalam rumah tangganya, itu artinya Indira dipaksa untuk membuka kembali kotak pandora perjalanan rumah tangganya. Dan hati Indira belum sebaja itu untuk menanggung perihnya pengkhianatan Anggara.

"Mbak percaya kan sama Ayah dan Ibu? Meskipun Mbak udah jadi tanggung jawab Anggara, tapi Mbak masih tetap anak Ayah dan Ibu. Ayah dan Ibumu masih sanggup dan pantas dijadikan tempat Mbak berkeluh kesah. Iya kan, Mbak?"

Kepala Indira mengangguk kendati ia tahu kalau Ayah bahkan tidak akan bisa melihat respon pergerakannya. "Mbak nggak sanggup, Yah. Mbak pasti udah berdosa sekarang, Yah." Isak lirih Indira, mengadu pada Ayah seperti ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar. "Maafin Mbak, Yah."

"Mbak, coba cerita yang jelas ke Ayah. Apa yang bikin Mbak nggak sanggup? Mbak berdosa apa, sayang? Ayah nggak paham." Ayah tampak mengerti kegelisahan Indira dengan mencoba bertanya perlahan dan lembut pada putrinya yang tengah risau.

Sedu sedan tangis Indira menggema di keheningan kamar indekos yang ditempatinya. Rasa bersalah menikam dada wanita awal tiga puluhan itu. Ia merasa tengah mengkhianati cinta kasih Ayah dan Ibunya dengan menyembunyikan keadaan yang sesungguhnya dari dua sosok yang paling dicintainya di dunia.

"Mbak...Mbak cerai sama Anggara, Yah."

Tidak ada sahutan apapun dari Ayah. Sambungan telepon mereka benar-benar hening hingga Indira mengira kalau telepon mereka terputus di tengah jalan.

"Angga nyakitin Mbak?"

Perih di hati Indira semakin terasa setelah suara serak dan sedih Ayah begitu kentara selepas ia mengatakan keadaan rumah tangganya. Namun Indira enggan menjawab lebih lanjut. Semakin ia bercerita, semakin banyak pula aib rumah tangga nya yang akan terkuak dan didengar oleh Ayah dan Ibu. Syukurnya, Ayah tampak paham dengan kebisuan Indira saat ini.

"Maafin Mbak, Yah."

"Mbak yakin kalo ini jalan satu-satunya?"

"Mbak yakin, Yah."

"Kalo gitu, Mbak nggak perlu minta maaf sama Ayah dan juga Ibumu. Semuanya tentu sudah Mbak pikirkan masak-masak sebelum ambil keputusan. Ayah nggak bisa menyalahkan, ataupun membenarkan keputusan Mbak ini, karena seperti yang Mbak tahu, apa yang sudah dipersatukan Tuhan, tidak dapat dipisahkan oleh manusia. Tapi Ayah akan tetap mendukung Mbak, apapun keputusan Mbak nanti."

Indira cegukan di tengah tangisnya. Rasanya begitu lega ketika tahu kalau paling tidak, ada Ayah yang akan selalu menopang dan juga menerima nya dengan lapang dada.

"Makasih Yah. Maafin Mbak."

"Ck, Ayah kan udah bilang, jangan minta maaf sama semua yang udah terjadi dan sudah Mbak yakini jadi keputusan yang tepat. Sekarang Ayah mau tanya, kamu sendiri yang urus semua berkas cerainya, Mbak?"

"Mbak dibantu sama Tita Yah. Tita yang urus semuanya dari awal sampai sekarang."

"Sidang mediasi nya kapan? Mbak mau datang?"

Indira membersut ingusnya sebelum menjawab sang Ayah dengan suara sengau sekaligus serak. "Sidang nya besok, Yah. Dan Mbak nggak mungkin datang. Mbak...udah nggak di Jakarta lagi."

"Mbak pergi? Kenapa nggak bilang sama Ayah?" Cecar Ayah dengan suara panik bercampur cemas. Orang tua mana yang tidak cemas mengetahui keberadaan putrinya yang entah berada di mana dan sedang dalam proses cerai?

"Ayah tenang aja. Mbak sekarang di Jogja. Sudah seminggu dan sudah kerja juga. Tapi Mbak mohon, jangan bilangin ke Ibu ya Yah. Mbak takut Ibu kaget."

Helaan napas berat terhembus dari bibir Ayah. "Ayah usahakan ya Mbak. Tapi Ayah nggak mau kalo semua ini kita rahasiakan dari Ibu. Mbak harus tetap cerita karena bagaimanapun, Ibu juga harus tau keadaan anaknya. Bisa Mbak penuhi permintaan Ayah ini?"

Dengan desah napas sendu Indira menjawab, "Iya Yah. Mbak usahakan untuk secepatnya cerita ke Ibu."

TBC

230321

Hello Goodbyeजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें