Hello Goodbye - T

32.5K 3.4K 604
                                    

Lita mengemasi barang yang baru sebagian ia bawa ke rumah ini dengan hati sedih sekaligus marah. Kenapa semuanya justru berakhir di luar prediksinya seperti ini? Sudah terusir, status pun tidak pula ia dapatkan sebagai calon menantu baru di keluarga Diwangsara. Padahal, sudah ada Nafta yang bisa ia jadikan iming-iming untuk calon mertua nya yang ternyata berhati batu dan sedikit pun tidak luluh dengan putri lucu nya.

Ia menutup zipper koper dan hendak menggendong Nafta, tepat ketika Anggara memasuki kamarnya dengan menggeret sebuah koper hitam dengan wajah yang terlihat letih.

"Udah semua?" Tanya Anggara lemah. Lelakinya terlihat begitu lelah dan juga tertekan saat ini. Dan Lita yakin, penyebab dari semua ini tentulah kedua orangtua sialan yang tiba-tiba datang dan merusak segala kebahagiaannya.

"Mas, kamu beneran nggak dikasih uang sepeserpun? Terus kita mau tinggal di mana Mas kalo kamu nggak ada uang?" Cecar Lita gemas sekaligus kesal karena ngeri mendengar ucapan Serafin tentang Anggara yang tidak akan diberikan apapun setelah keluar dari rumah ini.

Anggara menghela napas berat. "Kita tinggal di kontrakan kamu sebelumnya aja. Mas ada sisa uang, tapi itu nggak cukup buat kontrak rumah. Mending uang itu nanti buat bekal hidup kita sementara. Mas juga harus cari kerjaan."

Tangan Anggara lantas segera meraih koper milik Lita dan segera membawa koper tersebut untuk menuju ke taksi pesanannya. Sementara di belakangnya, Lita dengan sekuat tenaga berusaha tidak melampiaskan emosinya pada Anggara yang dengan mudahnya mengatakan ingin tinggal di rumah kontrakan miliknya. Mau di taruh di mana wajah Lita kalau tiba-tiba Anggara menumpang tinggal dan hidup di sana? Para tetangga pasti akan lebih menilainya buruk setelah selama ini penilaian pada dirinya juga sudah tidak baik.

Menghentakkan kaki, Lita lantas segera menyusul Anggara yang sedang berpamitan pada kedua orang tua sialan lelaki itu. Kalau saja ia tidak takut dengan konsekuensinya, Lita ingin sekali memukuli wajah kedua orangtua di hadapannya, terutama Thio yang dengan kejamnya selalu menghina dirinya.

"....jangan lupa, sidang mediasi kamu tiga hari lagi. Pastikan kamu datang dan nggak menghambat prosesnya. Papa dan Mama serta Tita yang akan mengurus bagian Indira yang nggak bisa hadir nanti."

Anggara menunduk dan mengangguk pasrah. Hendak membantah pun percuma. Semua sudah terjadi, dan rumah tangga nya bersama Indira memang sudah tidak bisa di selamatkan lagi. Dengan pemberontakan, itu hanya akan membuang waktu dan juga tenaganya saja, sedangkan saat ini, Anggara sudah tidak memiliki kuasa apapun lagi.

"Baik, Yah. Anggara pamit dulu. Terima kasih dan maafin Anggara, Yah. Anggara udah mengecewakan Ayah dan Ibu."

Thio melengos sementara Serafin hanya mengangguk. "Tebus kesalahanmu. Nanti kamu sendiri yang akan merasakan manakah yang lebih baik antara istri dengan wanita simpanan sesaat. Dan di saat itu, Ibu pastikan penyesalanmu akan makin berlipat karena sudah menghancurkan rumah tangga harmonis kalian."

Lagi-lagi Lita di buat meradang dengan ucapan Serafin yang halus tapi sangat menohok. Jadi maksudnya, ia sama sekali tidak layak dan akan jadi sumber penyesalan buat Anggara, begitu?

Sebelum dirinya meledak dan menimbulkan pertikaian dengan orang-orang kaya di hadapannya, Lita lebih memilih melangkah terlebih dahulu meninggalkan Anggara yang tertegun, begitupun kedua orang tua sialan itu.

Thio tersenyum sinis melihat tingkah laku Lita. "Belum apa-apa saja sifat busuknya sudah terlihat. Lihat, itu wanita yang selama ini kamu simpan dan menjadi duri dalam biduk rumah tanggamu bersama Indira. Perempuan binal murahan yang sama sekali nggak memiliki sopan santun sedikitpun bahkan dengan orangtua. Indira bahkan nggak pernah berani berdecak meskipun kami sering cerewet dan membuat dia kesal."

Lagi-lagi Anggara hanya bisa terdiam lesu di tempat. Apa yang orangtuanya ucapkan memang tidak sepenuhnya salah. Sikap Lita yang melengos seperti itu jelas dianggap sebagai sikap pemberontakan dan tidak memiliki sopan setelah mereka terbiasa hidup bersama Indira yang begitu santun dan juga menyayangi kedua mertuanya.

Membayangkan Indira di saat seperti ini memang terasa percuma. Mau sebanyak apapun ia mengingat, sosok itu sudah pergi entah kemana dan tak akan lagi sudi menatap dirinya yang penuh dosa. Kalau boleh dibilang pun, sesungguhnya Anggara cukup kaget ketika harus beradaptasi dengan sikap Lita setelah selama ini selalu penuh pemujaan ketika berstatus sebagai suami Indira. Indira yang penurut dan tidak pernah menolaknya merupakan hal terbaik yang sayang nya justru ia sia-siakan karena tergoda oleh kemilau perselingkuhan yang ditawarkan dam diterima dengan baik oleh dirinya dan juga Lita.

Sebelum pergi, Anggara sudah menandatangani surat cerai yang dipaksakan oleh Thio dan juga Serafin. Lagipun, seumpama dirinya hendak memberontak, Thio pasti akan kembali menghajarnya hingga babak belur karena sudah tidak memenuhi kualifikasi untuk terus mendampingi Indira, menantu kesayangannya.

Anggara membisu, bahkan setelah taksi online pesanannya membawa ia dan juga Lita serta Nafta menuju alamat kontrakan Lita. Pikirannya sedang merutuk akan semua kehilangan yang ia rasakan. Konsekuensi perselingkuhan yang ia pikir tidak akan terjadi di dunia nyata, apalagi sampai di usir orang tuanya, justru terjadi dan dirasakan langsung olehnya.

Tak berselang lama, taksi yang membawanya dan Lita berhasil sampai ke rumah kontrakan dengan selamat. Setelah membayar, Anggara lantas mendorong koper-koper yang ada dan menghempaskan bokong ke kursi bambu yang dimiliki ruang tamu rumah Lita.

"Lit, tolong bikinin Mas kopi ya. Mas capek banget." Pinta nya pada Lita yang baru saja menidurkan Nafta di ranjang.

Namun alih-alih membuatkan kopi, Lita justru duduk dan menatap kesal pada Anggara. "Kapan kamu mau nikahi aku Mas?"

Anggara yang semula memejamkan mata lantas membuka mata dan menatap Lita bak orang aneh. "Lit, Mas saja belum mulai sidang perceraian dengan Indira, nggak mungkin Mas bisa nikahi kamu dalam waktu dekat. Mas juga harus cari pekerjaan dulu buat kehidupan kita, Lit. Tolong, ngertiin Mas."

Lita berkaca-kaca menatap wajah Anggara. "Kamu minta aku ngertiin kamu, sedangkan kamu sendiri nggak mau ngertiin aku, Mas. Apa kamu tau gimana penilaian warga di sini ke aku? Aku udah dipandang binal, Mas. Apalagi sekarang kamu juga numpang di sini. Aku udah nggak punya muka buat keluar rumah!" Isaknya kesal sekaligus sedih.

Anggara bak tertikam hatinya saat mendengar kata-kata menumpang yang diucapkan oleh Lita. Terdengar begitu kejam dan merendahkan dirinya yang mulai saat ini memang tak memiliki apa-apa.

"Sementara ini Mas memang cuma menumpang dan nggak punya apa-apa selain sisa uang cash yang ada di dompet." Tekan Anggara pada kata-kata menumpang yang tadi sempat diucapkan oleh Lita. "Tapi meski sementara ini Mas numpang di rumahmu, Mas juga berniat mencari kerja buat kehidupan Nafta ke depannya. Memang saat ini Mas nggak punya apa-apa, tapi kata-kata mu baru saja nggak sepantasnya kamu ucapin buat aku, Lita."

Lita mengerjap kaget saat tahu kalau Anggara kali ini sedang diliputi oleh amarah karena ucapan berbasis emosinya.

"Mas, m-maaf, tadi aku lagi em..."

Anggara menghela napas dan segera bangkit tanpa mengacuhkan Lita yang segera membuntutinya.

"Mas, jadi dibikinin kopi?" Tanya Lita cemas. Sampai di kamar Nafta, Anggara bahkan masih tidak mengacuhkan Lita yang sudah nyaris menangis karena takut akan kemarahan Anggara.

"Mas..."

"Mas capek, Lit. Jangan ganggu dulu, Mas mau tidur." Ucapnya final sambil merebahkan diri di sisi kanan Nafta yang terlelap.

TBC

190321

Hello GoodbyeWhere stories live. Discover now