Empat Puluh Tujuh

43 4 0
                                    

"Ini enggak ada hubungannya sama move on," sahut Shania santai.

Nala memutar bola mata, mendekati sahabatnya. "Sejak kapan lo berani bolos kelas?"

Kepala Shania tergeleng pelan. "Ini bukan kategori bolos."

"Mau coba bolos?" Pertanyaan Nala sontak mendapat pelototan mata dari Shania. "Mau jalan-jalan nanti malem?"

"Boleh, ke mana?"

Nala melangkah pergi dari toilet. "Tanya sama yang ajak, dong."

Shania masih diam di depan cermin. Maksudnya? Bukankah Nala yang mengajak? Dasar aneh. Shania buru-buru menyelesaikan urusannya di toilet dan berjalan membuntuti Nala.

Sebelum membuka pintu kelas, ponselnya bergetar. Shania lihat sekilas dari kolom notifikasi.

Kak Reza:
Nanti malem mau jalan-jalan?

Shania menoleh ke kanan-kiri terlebih dahulu. Setelah memastikan keadaan aman, bibirnya mengulum senyum. Sejenak lupa tentang kejadian di koperasi.

***

Sudah lama rasanya Shania tidak repot memilih pakaian sebelum pergi. Nala mengomel sejak lima menit lalu. Dia bersedekap dada dan menatap sahabatnya yang panik.

"Heh, lo bukan mau fashion show. Pilih yang nyaman dipake coba. Dih, kayak enggak pernah pergi lo."

Tidak memusingkan protes Nala, Shania masih setia mondar-mandir. "Jarang jalan-jalan sama Kak Reza pake baju gini. Biasanya, 'kan, cuma seragam."

Nala menarik napas sebelum menyemprot penuh ketidaksabaran. "YA TERUUUS? YANG PENTING PAKE BAJU, 'KAN?!"

"Nala berisik!" seru Shania sembari mengambil atasan warna light beige dan rok bahan kain hijau daun. "Gimana?"

Dua jempol Nala teracung. "Gue yakin itu punya Tante Reva. Mana punya Shania baju kayak gituan."

Lagi-lagi Shania mencebik. "Bener, sih. Mending pake flatshoes atau sepatu sandal?"

"Sepatu sandal, dong! Yang waktu itu lo beli di internet. Katanya lucu, tapi enggak pernah dipake," gerutu Nala.

Shania hanya terkekeh dan pergi ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Tidak perlu lama, dia keluar dengan baju dimasukkan ke rok. Nala yang sudah siap dengan sisir dan karet rambut memanggil Shania untuk duduk di depannya.

"Gue cepol bagian kanan dan kiri, tapi setengah doang, terus--"

"Terserah, Nal, terserah," tandas Shania.

Sepuluh menit berkutat dengan rambut, Shania kini menatap pantulan dirinya di cermin. Tidak terlalu buruk. Cepol yang Nala buat mirip tanduk kecil dengan rambut bagian bawah dibiarkan tergerai.

Sembari melirik jam dinding, Nala bertanya, "Sekarang jam empat sore, lo pulang jam berapa?"

Bahu Shania terangkat. "Maksimal jam delapan, deh."

Nala mengangguk-angguk. "Gue mau lanjutin nonton film di kamar lo. Tenang, gue enggak bakal--"

Shania yang sedang memasukkan ponsel dan dompet ke tas selempang kecil memotong, "Santai kali, Nal. Kayak sama siapa aja." Keduanya berpelukan singkat. "Makasih Nala, udah dibantu!"

Alis Nala terangkat sebelah sebagai respons. "Gue enggak perlu anter ke depan, 'kan? Ada janji video call sama Kak Wegan."

Bibir Shania terbuka dengan alis dinaikturunkan. "Uuu, iya, deh. Gue pergi dulu."

Shania menuruni tangga sambil mengecek kembali isi tas selempangnya. Ponsel, dompet, uang receh, tiga buah permen. Sempurna. Saking fokusnya berjalan, dia sampai tidak tahu sedang diperhatikan empat orang yang duduk di sofa ruang tamu.

Ketika mendongak, Shania terlonjak pelan. "Astagfirullah, ngapain pada liat Shania kayak gitu? Terus, Kak Reza kapan dateng? Kenapa enggak ada yang panggil Shania?" Reva berjalan mendekat dan menggiring Shania ke dapur. "Kenapa, Ma?"

"Reza itu lagi minta izin ke papa sama abang. Dari tadi papa masih liatin Reza. Sebentar, ya. Kamu di sini dulu, jangan nguping, oke?" bisik Reva.

Baru saja Shania akan protes, Reva sudah kembali ke ruang tamu. Duduk di sebelah Dino, berhadapan dengan Niko.

"Saya sudah pernah mencoba percaya pada remaja sepertimu. Hasilnya, cuma omong kosong."

Reza bingung hendak menyahut bagaimana. Setelah beberapa saat berpikir, dia berkata, "Begini, Om, Tante, Bang Niko, di sekolah saya memang terkenal 'kurang' baik."

Dino menatap datar. "Lalu?"

Tangan kanan Reza menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Anu, tapi saya jamin akan mengantar Shania selamat sampai tujuan. Mobil saya efisiensi, kok. Maksudnya, enggak bakal mampir-mampir begitu. Saya akan antar Shania pulang sebelum jam delapan malam. Setelah itu--"

"Intinya?"

Niko meringis mendengar nada sinis yang dilontarkan papanya itu. Terlalu ... mengintimidasi. Dia menatap prihatin pada Reza yang tampak sedang menyusun kata-kata.

Reza tersenyum tipis. "Maaf, Om, saya tahu Om takut kejadian kemarin terulang. Namun, saya bukan Redaf. Meski tidak dikenal sebagai orang baik, saya tidak pernah mendekati dengan perempuan lain ketika ada nama lain di hati saya."

"Bagaimana saya bisa percaya hal itu?" tanya Dino lagi.

"Saya tahu Shania sering disama-samakan dengan Thesa oleh Redaf. Bukan menggurui, tapi Om pasti tahu, rasanya sulit. Begitu pula saya yang tidak ingin disamaratakan. Sekali lagi, saya bukan Redaf, Om."

Dino memutar bola mata. "Kalau saya melarang kamu pergi dengan Shania?"

"Maka saya yakin Om akan mengizinkan."

Alis kiri Dino terangkat. "Dari mana kamu dapat asumsi itu?"

Reza melirik jam dinding, pukul empat lebih lima belas menit. "Gestur. Ketika saya bicara tadi, Om selalu menatap mata saya. Kalau tidak salah, arti dari putaran bola mata Om adalah Om sudah enggan berbasa-basi dengan saya. Maaf kalau terkesan sok tahu, saya hanya menebak dari sudut pandang saya."

Dino berdiri, membuat yang lain demikian. Reza sudah menyiapkan hati akan diusir. Ketika dia hampir melangkah, Dino memanggil, "Shania!"

Eh? Eh? Eh? Reza masih linglung. Dia menatap Niko yang tersenyum lebar ke arahnya.

Shania berlari kecil dari dapur sambil membawa satu stoples biskuit cokelat. "Kenapa, Pa?"

Dino melirik tajam pada Reza. "Bukan berarti saya sudah percaya pada kamu. Lebih dari jam delapan, hengkang dari hidup anak saya."

Reza menelan saliva susah payah. Lantas raut wajahnya berangsur semringah dan segera meyalami tangan Dino. "Terima kasih banyak, Om. Oh, iya, hari Minggu Om libur?"

"Kenapa tanya begitu? Mau ajak saya jalan juga?" sahut Dino makin sinis.

Kepala Reza menggeleng. "Saya mau ajak Om main catur. Tenang, Om, saya ini juara bertahan lomba catur di kompleks perumahan. Yang kalah harus bayar biaya tempat pemancingan."

Air muka Dino melunak. Dia menepuk singkat bahu Reza. "Siapkan uang dan alat pancing, karena saya yang akan menang."

Sedangkan Shania diam-diam mengingat kembali lelaki pertama yang menghadap papanya. Pantas saja sang papa cukup ketat sekarang, dia tidak ingin ada Redaf-Redaf lain di hidup Shania.

Sesi berpamitan selesai, Reza dan Shania sudah masuk ke mobil hitam. "Ini mobil papa gue, jadi baunya kopi banget. Enggak apa-apa, 'kan?"

Jempol dan telunjuk kiri Shania membentuk huruf "O". "Oke aja, kok."

Mesin mobil dinyalakan. Sebelum kaki Reza menginjak pedal gas, dia berkata, "Shan, gue minta izin ke papa lo susah. Jadi, jangan sampai sia-sia, ya?"

***

AN:

YA AMPUN TERNYATA CUTE BGT GASI REZA SAMA SHANIA?!?!

PADAHAL INI UDAH MAU ENDING, TAPI PENGIN AKU PANJANGIN KARENA SHANIA X REZA LUCU BANGET AAAAA🥺☹️🥺☹️

YANG GA SETUJU SINI MARI BERTUMBUK😘

Aku nulis ini 21 April 2021 ternyata, udah lama di draft, cuma ga aku publish aja ehe ;)

Yayımlanan bölümlerin sonuna geldiniz.

⏰ Son güncelleme: Feb 16, 2022 ⏰

Yeni bölümlerden haberdar olmak için bu hikayeyi Kütüphanenize ekleyin!

WAIVEHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin