7. Ada apa sebenarnya?

15.1K 2K 142
                                    

<•••>


Alega merebahkan tubuhnya dengan napas terengah di lantai perpusatakaan yang sudah bersih, peluh mengucur membasahi tubuh lelaki itu dari atas hingga bawah. Bahkan seragam sekolahnya pun sudah basah karena keringat yang keluar begitu banyaknya, jelas hal itu membuat tubuh kekar milik Alega tercetak dengan jelas terlihat.

Hari sudah semakin sore, totalnya sudah tiga jam kedua remaja itu menghabiskan waktu membersihkan perpustakaan ini, bahkan bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak satu jam yang lalu.

Memang sialan sekali, Pak Bambang memang lebih kejam dari kepala sekolah kalau urusan memberi hukuman pada murid-muridnya.

Berbeda dengan Alega yang terlihat begitu kelelahan, di lain sisi Addam masih terlihat biasa saja. Meski lelaki itu juga nampak kucel, dan berkeringat.

Saat ini Addam sedang berdiam di depan jendela untuk mencari udara segar, dengan sinar senja yang menerobos dari jendela menyinari wajahnya.

"Gue pikir lo sekuat itu, ternyata engga. Baru bersih-bersih segitu aja udah loyo, payah." Addam berdecih, ia beranjak untuk merapikan barang-barangnya hendak pulang. Hari sudah sore Addam harus segera sampai di rumah.

Yang di sindir hanya acuh, tidak peduli dengan apapun yang Addam katakan, "Terserah. Gue capek, males ribut."

Addam tanpa sadar menarik sebuah senyuman mendengar rajukan anak nakal itu, ia mendekati Alega lalu menendang kecil tubuh yang masih berbaring di lantai itu. "Mending lo cepat bangun terus pulang kalau gak mau nginep di sekolah, sebentar lagi gerbang di tutup."

"Bentar," sahut Alega singkat.

Addam hanya mengangkat bahunya acuh, toh dia sudah mengingatkan jadi terserah lelaki itu mau nurut atau tidak.

"Yaudah, selamat bermalam di sini." Saat Addam hendak berjalan keluar dari perpustakaan, tiba-tiba Alega bangkit dai posisinya dan menahan tangan Addam.

"Tunggu, Ddam."

"Apa lagi?"

"Tunggu bentar lagi nanti pulang barengan, gue gak suka ditinggal sendiri!" Alega bersungguh-sungguh dengan ucapannya, ada sesuatu yang membuatnya tidak suka merasa di tinggalkan.

Addam menepis tangan Alega kasar, "Nggak. Ini udah mau gelap, gue harus pulang!"

Alega yang kesal dengan penolakan itu langsung mendorong tubuh kecil Addam dengan kasar hingga membentur tembok, mengukung si pemilik surai coklat. "Lo memang gak bisa di minta dengan cara baik-baik ya, perlu gue kasarin biar nurut?! " desis Alega tajam.

Addam terdiam pasrah tatapannya jatuh pada manik mata Alega, ada sesak yang teramat ia rasakan saat lelaki di depannya selalu memperlakukannya dengan kasar dan seenak hati. Ada banyak pedih yang coba Addam tahan saat melihat manik mata Alega memancarkan kebencian padanya.

"Memang lo siapa? Kenapa semua orang harus nurut sama lo?" jawab Addam masih terdengar santai, meskipun kini suaranya sedikit gemetar.

"Alega. Orang dengan kuasa penuh yang bisa bikin siapapun menderita kalau gak menuruti peritahnya. Jadi nurut ya? Sebelum muka lo yang gak seberapa ini gue bikin babak belur." Alega bicara seenaknya, dengan ancaman itu membuat Addam diam membisu.

Kekerasan memang cara Alega menyelesaikan masalah, siapapun yang tidak menuruti keinginan lelaki itu akan di habisi. Kekuasaan penuh dari keluarga dan harta yang di miliki memang membuat Alega seolah di atas awan. Tidak ada yang bisa melawan kelakuan biadabnya.

Ketos vs Ketua Geng | NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang