"Aku yang memindahkanmu ke dipan," kataku pelan memotong perkataannya sambil menahan diri untuk tidak menyentuh rambut yang menutupi sebagian wajahnya.

Alisnya bertaut "Raden seharusnya membangunkan hamba bukannya memindahkan hamba. Bagaimana jika ada yang melihat? Bisa - bisa mereka salah paham. Hamba ini pelayan Raden!" ucapnya panjang lebar.

Nah, ini juga ciri khas dirinya yang lain. Dia amat sangat... sangat... sangat cerewet dan kata - katanya juga kadang tak masuk akal. Selain itu, tidak jarang dia menggunakan kata aneh yang tak aku pahami artinya. Sialnya, aku malah suka saat melihatnya bicara panjang lebar. Sumpah, perempuan di hadapanku ini membuatku kehilangan kewarasanku sebagai seorang laki - laki.

Menghembuskan napas pelan sebelum aku berujar, "Sebenarnya, tuannya itu aku atau kau, Rengganis?"

"Tentu saja Anda, Raden Panji Kenengkung, tetapi bagaimana nanti pandangan orang terhadap Anda? Sebaiknya Anda berhati - hati karena mata orang - orang tidak buta dan tentu akan selalu mengawasi gerak - gerik Anda," balasnya yang mulai tampak kesal walau dalam suara pelan karena Reksa masih tertidur.

Bodohnya hatiku malah menghangat mendengar ucapannya, "Kau mengkhawatirkan aku, Rengganis?"

Melarikan pandangannya ke sekitar dan tampak salah tingkah, "Hmm... iya tidak begitu juga, tapi_____"

Memotong perkataannya "Apa kau mau terduduk di sini sampai pagi, hm?" tanyaku sambil memegangi lengannya untuk membantunya berdiri.

Berkelit untuk melepaskan tanganku yang sedang memeganginya "Hamba bisa sendiri, Raden!" ucapnya makin kesal.

"Begitukah?" balasku pelan dan segera berdiri.

Rengganis berdiri lalu segera mundur ke belakang dan memberi hormat padaku "Hamba undur diri, Raden." Melangkah meninggalkan aku untuk keluar dari kamar Reksa.

"Bisakah kau menyediakan makanan untukku?" tanyaku pelan karena aku merasa sedikit lapar dan ditambah ingin melihatnya lebih lama.

Langkahnya berhenti lalu berbalik badan sebelum berkata, "Ck, Anda belum makan Raden?"

"Sudah, tadi pagi dengan Pangeran Anusapati atau ambilkan aku arak saja lalu tidurlah ini sudah hampir pagi!" jawabku sambil membalikan badan menatapnya. Aku berubah pikiran karena kasihan juga melihatnya yang mungkin kelelahan menjaga Reksa.

"Hamba baru tahu jika Raden bisa melucu. Sesibuk apapun, Raden seharusnya makan dengan benar. Bagaimana Raden terpikir untuk mabuk padahal makan saja belum? Hamba tak habis pikir. Tunggu sebentar, hamba akan siapkan makanan untuk Raden," ucapnya panjang lebar sebelum berderap ke luar dan tak urung membuat bibirku tertarik ke samping membentuk senyuman.

"Ikat dulu rambutmu, Rengganis!" perintahku mengingatkannya.

"Ck, rambut hamba tadinya terikat, pasti Raden yang tadi membuka ikatannya. Raden yang berbuat hamba yang repot!" balasnya kurang ajar.

Sebenarnya dia itu perempuan macam apa? Kadang aku bertanya - tanya. Penampilan, caranya berbicara maupun caranya bersikap jelas - jelas tidak menunjukkan bahwa dia golongan rakyat jelata. Aku tahu bahwa bukan aku saja yang curiga tetapi para Pangeran juga. Jangan kira aku tidak memeriksanya. Namun hingga kini tak ada yang aku dapatkan baik tentangnya atau keluarganya. Bahkan warga desa tidak ada yang mengenal nama "Rengganis".

Dia seperti perempuan yang muncul tiba - tiba. Apakah dia siluman? Tidak, karena Guruku mengajarkan suatu ilmu sehingga aku bisa membedakan antara manusia dengan siluman yang sedang menyamar sebagai manusia. Namun, kenyataan tentang Rengganis ini tidak berani aku ungkapkan bahkan pada Pangeran Anusapati sekalipun. Satu hal yang aku yakin tentangnya yaitu dia bukan orang jahat. Hanya itu yang terpenting untukku saat ini.

SINGASARI, I'm Coming! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang