"Maaf ya kalau terlalu lama," (Y/N) tercengir pada semua orang. "Kita pelan-pelan saja, biar lebih seru."

"G-GILA! TOLONG AKU!"

"Kalau di ranjang, semakin lama, semakin seru, bukan?" Kata-kata itu membuat Erwin yang tengah menyaksikannya, tersedak. "Kalau bermain permainan papan, semakin lama, semakin menegangkan, kan?"

"CE-CEPAT B-BUNUH AKU! SI-SIALAN!"

"Sabar, Floch. Pedangku tumpul, nih."

"K-KALIAN! APA YANG KALIAN LAKUKAN? J-JANGAN DIAM SAJA!" Ia kehabisan tenaga, lemas melihat darahnya yang bercucuran sangat banyak.

"Pengkhianat itu pantasnya memang dikhianati, sih." Tawa kejinya memantul di lapangan nan luas itu.

"D-DASAR IBLIS."

"Sama, dong?"

"E-Eren akan.."

"Eren ini, Eren itu. Dasar cupu." (Y/N) menebaskan pedangnya yang sebetulnya— Sangat tajam. "Oh iya, maaf aku sudah bohong soal pedangku yang tumpul. Aku sudah menggantinya saat perjalanan kemari."

Floch mengejang sesaat sebelum tubuhnya mendarat dan berdebum di tanah, kepalanya yang putus menggelinding cukup jauh dari jasadnya.

"B-Bocah bodoh. Bocah tolol. Lihat akibat dari harapanmu itu." Jean menggeleng pada mayat Floch sebelum memberi tembakan sebanyak empat kali sebagai sinyal.

Kemudian berganti Pieck— Cart Titan yang memakan Jean beserta Onyankopon dan Yelena. Kerumunan di sekitar benar-benar hening dan sepi. Semua orang ketakutan, merasa terancam, merasa dikhianati, merasa bingung dengan keadaan. Dan itu sungguh lucu, karena belum lama mereka membual sebegitu berisiknya.

"Maaf aku tidak kembali lagi semalam." (Y/N) berbisik pada Pieck sembari bergelayut di tubuh Titannya.

"Ya. Aku turut berduka soal putramu."

"Hmm."

"(Y/N). Kau membunuh orang seperti menebas boneka jerami saja, deh." Sindirnya.

"Muka anak itu memang seperti boneka jerami, sih."

"Itu kejam sekali."

"Aku hanya mengatakan kebenarannya."

"Yah, kau terlalu jujur."

***

Senja turun dan kini mereka berkemah di Hutan Pohon Raksasa. Hanji sibuk di depan api unggun, mengaduk sup, sedangkan yang lainnya duduk hening sambil saling tatap.

"Tidak ada yang mau membantuku disini? Tolong berhentilah memelototi satu sama lain." Sahut Hanji, memutar bola matanya.

"Berbagi makanan dengan orang yang telah kami bunuh dan yang telah membunuh kami. Itu menarik." Magath tersenyum singkat. "Lagi pula, apa yang membuat kalian berubah pikiran? Jika kalian membiarkan Eren Yeager, kalian pasti bisa melihat dunia yang kalian impikan jadi kenyataan— Sebuah Surga untuk Iblis di Pulau ini."

"Kami tidak ingin ada pembunuhan massal. Jika kami menginginkannya, kami tak akan lari ke dalam Hutan untuk membuat sup." Kata Erwin.

"Dengan kata lain, kau bilang kalau kalian tiba-tiba memiliki rasa keadilan?"

"Halah, tutup mulutmu. Keadilan.. Keadilan.. Kau ingin membicarakan keadilan? Kau?" (Y/N) meninju pohon dengan satu kepalan tangannya, biar begitu, suaranya tetap setenang air danau. "Kami hidup dibawah ancaman para Titan yang terus kalian kirim pada kami, tapi malah kami yang jadi penjahatnya. Tragis sekali."

"Teori soal ancaman yang dimiliki Paradis ternyata benar, dan sekarang dunia akan hancur. Inilah hasil dari kalian yang bertarung mati-matian. Benar, kan?" Elak Magath, memelotot.

"Sudah hentikan semua ini." Erwin mencengkeram lengan (Y/N) dengan erat, berusaha meredakan emosinya, meski dia tidak tahu apakah itu akan berhasil atau tidak.

"Magath, kau mungkin terkejut dengan keberadaan kami. Kita ini hanya Iblis aneh yang bahkan rela memberikan Surga mereka untuk menyelamatkan orang-orang di dunia yang mencoba memusnahkan mereka." Perkataan (Y/N) membungkam semua orang, bahkan cukup mengejutkan untuk membuat Levi terbangun dari tidurnya. "Jadi, sekarang juga tutup mulutmu dan terima saja tawaran baik dari kami, para Iblis yang aneh ini."

"S-Senior (Y/N).. Anda tidak perlu sampai bicara—"

"Jadi, apa kalian sudah siap untuk membunuh Eren Yeager?" Matanya bergeser pada Mikasa dan Armin. "Apa kau mampu?"

"Tunggu, Senior."

"Ya?"

"Membunuh Eren bukan satu-satunya cara untuk menghentikannya."

"Apa lagi? Kau mau berbicara padanya atau semacamnya? Jika dia bisa seperti itu, dia takkan melakukan pembunuhan massal ini." Dia memutar bola matanya.

"Kita tak tahu itu, kecuali kita benar-benar bicara pada Eren." Armin membela pernyataan Mikasa.

"Baik. Anggap saja kita bisa bicara dengannya. Lalu apa? Dia tetap akan membunuh semua orang. Apa kita tidak memikirkan soal rencana terakhir?"

"Dengar," Annie menyambar, bangun, dan berdiri di celah-celah antara tempat Magath dan Reiner duduk. "Jika kita, yang memiliki kampung halaman di Marley, mencoba membunuh Eren, kalian pasti akan melawan kami untuk melindungi Eren."

"Diam.." Mikasa gemetar.

"Benar kan, Mikasa? Karena kau mungkin tidak memikirkan apa pun itu lebih penting dari Eren?"

Dengan raut murka, Mikasa bangun, memasang ancang-ancang seakan ingin mengajak Annie beradu tinju. "Maksudmu, kau harus membunuhku?'

"Eh?" Hanji menyikut Erwin, panik.

"LEONHART!" Bentak Magath.

"Dasar. Sup nya hangus, loh." (Y/N) menyelonong ke arah api unggun, dan mengambil mangkuk tanpa dipersilahkan seakan-akan Hutan itu miliknya seorang. "Kalian itu jadi galak karena lapar."

Semua orang mengendurkan ketegangannya, kembali duduk, dan membiarkan keheningan mengambil alih untuk kali ini saja.

Seketika kehangatan yang aneh membasuh mereka. Kenangan-kenangan di masa lalu yang telah mereka lalui bersama. Namun kini pertemanan mereka telah hilang, digantikan oleh satu hal yang masih menjadi kesamaan di antara mereka.

Menghentikan Eren Yeager dan menyelamatkan dunia.

I'll Remember You: Beginning of the EndWhere stories live. Discover now