🍏Kisah; 2

58 26 5
                                    


        .Sebuah Seni Hidup.  

                 ............

"Anak-anak kita perlu merasakan pahit! Dunia itu kejam. Apa jadinya mereka jika dimanjakan terus?!"

Istri dan kedua putriku serta putra tunggal sulungku terperangah. Jarang sekali memang mereka mendapat bentakan seperti itu. Akupun terkejut, bagaimana suara baritonku membuat mereka kikuk seketika.

"Tapi, jika mereka berjuang sendirian, siapa yang akan mengajari mereka manisnya hidup?" Istriku yang berwajah sabar bersuara selang beberapa menit kami membisu.

"Bukankah selama ini meraka sudah mengecap rasa manis?"

"Kau tak paham, bagaimana perasaanku sebagai Ibu mereka. Aku menderita melihat mereka sengsara!"

Wajah cantik istriku berubah jadi lautan amarah penuh duka. Sorot matanya betul-betul menggambarkan kasih sempurna milik seorang paling tulus didunia. Ah, dia memang selalu begitu.

Sementara ketiga buah hati kami masih membisu. Kutatap dalam-dalam manik polos mereka, hampir menangis, berkaca-kaca. Ada setitik takut membuncah terpamer jelas dari kilatan tatapan mereka. Si sulung yang tampan, sudah tamat sekolah menengah. Ia rajin pula penurut tapi akhir-akhir ini agak membandel. Menular pada kedua adiknya.

Si tengah, matanya berkaca, menatapku penuh benci. Ia tipe pendiam namun pendendam. Sekali berbuat salah, ia sukar memaafkan. Cerdas dan masih SMA. Sedangkan si bungsu, ia tinggi semampai, cantik serupa Ibunya. Namun, ia sedikit pembangkang. Anak-anakku...

"Kami dulu, diajarkan oleh nasib untuk hidup. Bersaing dengan takdir agar memenuhi keinginan alam. Ayah kalian ini tak pernah dimanja macam kalian ini! Selepas SD tak ada masa depan dalam dunia pendidikan. Ayah merantau, bertempur dengan tanah asing. Tak ada teknologi canggih dulu, tapi Ayah tak gentar untuk menaklukan ego di daratan orang"

"Kalian anak zaman sekarang, duduk bermain ponsel sepanjang waktu, disuruh ini-itu tak mau, amboi manjanyaa! Kami dulu miskin, sangat miskin beli beras sekilopun tak mampu. Tapi, dikasih ubi jalar tetap makan dan kenyang, lihat kalian makanpun cari lauk"

Semua membisu mendengarkan kuliah panjang lebarku. Semua unek-unek kukeluarkan. Tak ada yang menjawab atau merespon, mereka berempat membatu.

Permasalahan keluarga kecilku sebenarnya bisa saja tak menjadi panjang begini, jika saja anak laki sulungku tak menyentuh arak sialan itu. Sejak ia menyentuh arak, hidupnya seolah tak teratur. Makan, penampilan, masa depan, sikap dan keuangan. Putra kebanggan serta harapanku telah hancur, menyisakan anak tengil tak tau diri. Maka setiap hari, rumah kami selalu gaduh dengan pertengkaran. Kadang istriku diam-diam menangis sesegukan di pojok kamar meratapi nasib keluarga kecil yang ia bangun sejak dua puluh tahun lalu.

Namun, hal yang kukesalkan adalah ia selalu menjadi garda terdepan pula saat aku memberi bogeman mentah pada si sulung.

"Pokoknya, tak mengharapkan usah apapun dari kami lagi. Urusi diri sendiri kalian dengan baik mulai sekarang"

"Apa maksudmu?!" Istriku berteriak marah.

"Ayah membenci kehadiran kami? Apakah kami sangat merepotkan Ayah sampai-sampai mau melepas tangan atas kami?"

Putri tengahku bersuara, ada vibra memilukan mengiringi ucapannya. Aku terhenyak.

"Baiklah. Kamipun lelah berada dalam bayang-bayang kehidupan keras masa lalu Ayah. Apakah Ayah pernah berpikir, mengapa kami yang selalu salah sementara Ayah berlagak menjadi Ayah tersempurna bagi kami?"

Tuhanku! Aku semacam ditusuk-tusuk oleh ribuan pisau tajam. Airmataku berlinang tanpa halangan apapun. Si tengah berhasil melukai sanubariku. Tapi, satu kalimat berikut berhasil membuatku bungkam penuh tanya tentang diriku sendiri.

"Sudahkah Ayah tau? Ayah sangat egois!"

                      ;

See you next chapter!

Titik Koma KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang