Tidak ada Dicky atau siapa pun di kamarnya. Hanya ada ia sendiri. Ternyata Laura hanya mimpi buruk yang terasa nyata.

"Ya Tuhan...masih untung aku bisa selamat malam ini. Tapi gimana kalau keberuntunganku habis?" Laura menggelengkan kepalanya. Ia tidak ingin memikirkan hal yang buruk.

Laura terus menangis sampai sesesnggukan di tengah malam yang sepi. Ia tidak tahu bagaimana nasibnya kedepannya, ia hanya berharap bisa tetap bertahan hidup di tengah kerasnya hidup ini.

***

Lapangan Golf di siang hari

Rudi sedang bermain golf sendirian, wajahnya begitu serius, ia baru saja memukul bola golf. Rudi berdiri tegak saat seorang anak muda dengan penampilan dandy mendekatinya. Anak muda itu adalah anak buah Rudi bernama Arman.

"Ada yang bisa saya bantu, Bos?"

Rudi mengeluarkan KTP Laura dari saku celananya dan memberikan pada Arman. Arman menerima dan menatap KTP itu dengan heran.

"Dia perempuan malam, I want her! Cari sampai dapet, mungkin ada madamnya! Lalu booking dia!"

"Siap, Bos!!"

"Ini yang saya suka dari kamu, Arman. Never ask too many question! That's why I always trust you." Arman tersenyum penuh arti atas pujian Rudi.

"Saya jalan dulu, Bos!" Arman lalu pergi meninggalkan Rudi di lapangan golf. Pria itu melanjutkan lagi peremainan golfnya. Rasanya ia sudah tidak sabar menanti kabar baik dari Arman.

Sementara itu di rumah Rachma, Laura datang dan menghampiri Rachma yang sedang ada di kolam renang. Tadi pelayan rumah Rachma mengatakan kalau Rachma ada di sana.

Rachma yang melihat Laura datang langsung berdiri dan menghampiri Laura. Ia memeluk Laura seperti seorang ibu memeluk putrinya.

"Kamu sudah baikan?" Laura mengangguk pelan. Rachma melepas pelukannya dan merangkul pinggang Laura.

"Kita ke dalem, yuk..." Laura mengangguk patuh dan Rachma membawanya masuk ke dalam rumah.

Kini mereka berdiri di depan jendela yang langsung menghadap ke kolam renang. Laura dan Rachma menatap keluar jendela. Beberapa wanita cantik dengan penampilan elegan berlalu-lalang di sekitar kolam, wanita-wanita itu adalah anak buah Rachma.

Laura membuka mulutnya dan berbicara dengan datar. "Aku mau berhenti dari pekerjaan ini, Mbak!" Masih terlihat jelas gurat kesedihan di wajah Laura.

Rachma tetap tenang dan tersenyum mendengar kata-kata Laura.

"Saya ngerti, itu pertama kalinya kamu diperlakukan seperti itu. Wajar kalau kamu trauma dengan kejadian kemarin malam."

"Belum pernah seumur hidupku merasa bukan manusia dan terhina seperti semalam, Mbak." Rachma tersenyum sambil mengelus rambut Laura.

"Kamu nggak boleh nyerah gitu aja, Laura."

"Kayaknya aku nggak kuat lagi, Mbak!"

"Ingat biaya rumah sakit dan biaya kuliah kamu, Laura. Belum lagi kebutuhan ibumu..." Rachma menatap keluar jendela. "Mungkin pekerjaan ini hina bagi banyak orang," Rachma menatap Laura. "Tapi kalau ini jalan satu-satunya, kenapa kamu harus peduli sama orang lain?" lanjut Rachma. Laura menunduk sedih.

"Aku mau berhenti, Mbak! Enough!!!" ucap Laura dengan tegas.

"Tapi jika itu pilihan kamu! Saya nggak bisa maksa. Kita udah cukup banyak saling menguntungkan."

Laura diam sambil menatap kosong keluar jendela.

Laura kembali mengingat masa lalunya. Yang mana saat baru pulang kuliah, ia sudah harus bekerja. Saat itu Laura memasuki sebuah mini market, tempat bekerjanya paruh waktu. Masih dengan dandanan kuliah dan langsung masuk ke ruang belakang untuk mengganti pakaiannya dengan seragam pegawai mini market. Lalu ia bekerja sampai malam.

Kupu-Kupu MalamWhere stories live. Discover now