"Pa... ada tas desainer keluaran baru, keren deh. Warnanya benar-benar elagan. Cocok buat aku. Modelnya juga cantik banget..."

"Hmm... sepertinya desainernya favorit Mama, ya?" tanya Rudi, namun pandangannya masih terus fokus ke spion, melihat Laura yang panik.

"Iya, Pa... it's very classy and limited!"

Rudi diam-diam melirik ke kaca spion lagi, karena tidak bisa dipungkiri ia tertarik pada Laura. Pandangan Rudi kini tertuju pada lekuk tubuh Laura yang terbalut kaos, ia merasa lekuk tubuh itu sangat sempurna, pantat yang bulat dan berisi, dada yang mengundang, wajah yang cantik, dan kulit yang putih mulus. Rudi menelan air ludahnya, ia benar-benar tertarik pada gadis itu.

Tangan Rudi mengelus bahu istrinya, namun pandangannya fokus ke kaca spion. Ia tidak bisa menglihkan Laura dari matanya. Rudi kembali menelan ludahnya, kini pikirannya sudah mengalir ke mana-mana dan bayangan Laura ada dalam pelukannya, membuat sesuatu dalam tubuhnya menggeliat.

"Kalau Mama suka, Mama beli saja..."

"Thank you, Pa..." ucap Shanti manja smabil memeluk Rudi dengan erat. Rudi mencium kepala Shanti tetapi matanya terus tertuju pada kaca spion, di mana terlihat wajah Laura yang cantik di sana.

Rudi memang seorang pria yang playboy kelas kakap yang smooth, dan Shanti tidak pernah curiga karena Rudi begitu baik dan selalu menuruti apa pun yang diminta Shanti.

Sementara itu, Laura menatap Maman penuh rasa sesak dan dengan raut wajah tidak enak hati.

"Hape saya mati, Pak... Bapak kasih saya nomor rekening saja, biar nanri saya transfer." Laura menatap Maman memohon.

"Duuhh, saya harus cek dulu ke bengkel. Gini aja, mana KTP kamu? Saya bawa sebagai jaminan." Laura mengangguk dan mengeluarkan KTP-nya dari dalam dompet lalu memberikannya pada Maman.

"Saya bisa minta nomor hape Bapak? Dengan Bapak siapa?" Laura mengambil secarik kertas dan pulpen dari dalam mobil. Ia memberikannya pada Maman.

"Maman," jawab Maman singkat sambil menuliskan nomor ponselnya di kertas yang diberikan Laura. Dan Laura juga meberikan nomor ponselnya pada Maman.

"Beneran ya, Adek ganti semua biayanya! Kalau nggak, gaji saya bisa dipotong, Dek! Mau makan apa anak istri saya?"

"Iya, Pak... janji! Saya nggak ada niat jahat."

Setelah itu, Maman kembali masuk ke dalam mobil.

"Adek yang nabrak janji mau ganti biaya bengkel, Pak. Saya sudah ambil KTP-nya buat jaminan."

"Saya bawa aja KTP-nya Mang Maman. Biar nanti diurus Sumi di kantor."

"Baik, Pak..." Mamam memberikan KTP Laura pada Rudi. Rudi menatap KTP itu sekilas, lalu memasukkan ke dalam tas kantornya.

Shanti tampak sibuk dengan ponselnya dengan wajah senang sampai tidak menyadari senyum penuh rahasia dari bibir suaminya.

"Jalan, Mang...!" Maman mengangguk dan mulai menyalakan mobil.

Rudi kembali melihat Laura dari kaca spion, mobil perlahan jalan. Bayangan Laura semakin menjauh, tapi Rudi tetap melihanya. Ia senang karena punya kartu as milik Laura.

Laura jalan dan masuk ke dalam mobilnya. Ia berjanji dalam hati agar lebih hati-hati lagi. Ia menghidupkan mobil dan segera meninggalkan tempat itu.

***

Mobil Laura memasuki sebuah rumah kost-kostan eksekutif yang cukup berkelas dengan pagar tinggi dan dijaga satpam. Laura melewati pagar dengan kaca mobil yang terbuka.

"Siang, Mbak Laura..." sapa satpam itu dengan ramah. Laura hanya meberikan senyuman. Ia memarkirakan mobilnya dan keluar dari mobil. Lalu masuk ke dalam kamar kostnya. Ia langsung duduk lesu sambil men-charging ponselnya. Saat ponsel sudah menyala, sebuah pesan singkat masuk dari MADAM RACHMA.

'Coffee shop hotel biasa nanti malam.' Rachma juga mengirim sebuah foto pria berusia 30 tahunan pada Laura.

Laura mengetik balasan untuk Rachma. 'Mbak Rachma, aku butuh uang cepet, nih, habis nabrak tadi.' Tidak lama kemudian, muncul balasan dari Rachma.

'Segera ditransfer. Jangan telat ke janjian malam ini!' Laura mengehela napas panjang dan bangkit berdiri.

Ia mendekati tempat tidurnya dan menjatuhkan tubuh lelahnya di sana. Laura menghela napas pelan, sambil memejamkan matanya.

Semenjak bekerja dengan Rachma, kehidupannya benar-benar berubah. Ia juga harus meninggalkan ibunya di rumah karena di suruh Rachma untuk kost saja, dengan alasan agar Laura bisa dengan mudah ke sana-sini tanpa mendapat rasa curiga dari ibunya atau dari tetangga sekitar.

Laura membuka matanya dan menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Bila dibandingkan dengan rumahnya, kamar ini jauh lebih besar apa lagi dipakai untuknya sendiri.

"Arghhh..." Laura mengepalkan tangannya. Sungguh, ia tidak suka dengan pekerjaan ini, namun semua sudah terjadi. Ia juga sudah tidak bisa mundur lagi. Dan juga ia mulai terbiasa dengan pekerjaan ini. Bertemu dengan pria asing dan melayani mereka.

Laura ingin seperti teman-temannya. Tapi keadaan memaksa Laura tidak bisa seperti kebanyakan anak muda sekarang.

***

Terima kasih udah baca cerita ini..
Jangan lupa di vote dan koment, ya..🥰

Kupu-Kupu MalamWhere stories live. Discover now