04. Again

95 68 31
                                        

Selamat membaca... ᴥ


Dan di sinilah laki-laki itu sekarang, duduk sembari mengemudikan mobil otonomnya yang tengah melaju entah ingin ke mana.

Sebenarnya mobil ini memiliki sistem teknologi berupa self-driving, yang mampu menggerakan setir maupun seluruh mesinnya secara otomatis. Namun, laki-laki itu lebih memilih untuk mengemudikannya seperti mobil-mobil pada umumnya.

Lalu saat dirinya tengah fokus menyisir jalan, ia sedikit dikejutkan oleh dering ponsel yang baru saja merebak hingga ke pendengaran miliknya itu. Kemudian terpampang nama Hara pada layar ponsel fleksibel, yang ia letakkan di atas dashboard mobilnya tersebut.

Tanpa pikir panjang, Jeno langsung menekan ikon berwarna hijau. Setelahnya muncul sebuah hologram yang mencuat ke udara, menampilkan wajah manis Hara yang saat ini tengah ditekuk. Terlihat lucu.

"Eiyyy, lo mau ke mana?!"

Oh, ayolah. Sebenarnya Lee Jeno hanya ingin mencari hiburan saat ini, tanpa diganggu oleh siapa pun. Apalagi setelah perdebatan tak penting yang terjadi beberapa menit yang lalu itu.

Kemudian, Jeno mengembuskan napasnya agak kasar, "nggak tahu."

"Kok nggak tahu?" Hara tampak mengernyitkan keningnya dari seberang sana, "lo mau cari mangsa lagi, ya? Belum puas sama kejadian yang tadi?"

"Belum."

Lalu terdengar suara tawa yang merebak. Gadis yang tengah mengenakan hoodie berwarna cokelat itu terlihat memegangi perutnya sendiri bersamaan dengan tawanya yang membuncah. Entah apa yang lucu.

"Seharusnya tadi lo ajak gue. Gue kan juga mau lihat lo nusuk-nusuk tenggorokan mangsa lo itu, apalagi lihat lo ngeluarin isi perutnya. Hahaha, pasti seru!"

Lee Jeno lantas menggelengkan kepalanya beberapa kali, "gila," ucapnya. Tidak habis pikir dengan Hara yang sepertinya sudah kehilangan setengah akal sehatnya itu.

"Canda, sayang! Gue sih ogah ya lihat yang begituan!"

"Lo nggak takut, hm?" tanya Jeno, seraya membelokkan kemudinya kearah kiri, menuju jalanan yang tampak begitu lengang. Hanya dipenuhi oleh lebatnya pepohonan yang menjuntai.

"Takut apa?"

Laki-laki itu tersenyum, memusatkan netra legamnya pada Hara yang saat ini tengah menggigit buah apel yang entah ia dapat dari mana pula, "lo nggak takut, kalau misal suatu saat nanti, malah gue yang jadi alasan atas kematian lo?"

"Uhuk uhuk, anjrit! Bunda, Hara keselek apel!"

Sudahlah, sepertinya Lee Jeno bisa kehilangan separuh kewarasannya jika berinteraksi lebih lama dengan gadis sinting ini. Maka dari itu, langsung ia matikan sambungan face-time tersebut.

Bersamaan dengan meluncurnya sebuah peluru yang secara mendadak, berhasil membuat kaca spion mobil sebelah kiri miliknya itu hancur berkeping-keping.
























Hal pertama yang Na Jaemin lihat saat kedua kelopak matanya itu terbuka adalah sebuah langit-langit kamar bernuansa kelam, dengan pencahayaan yang agak minim penerangan.

Lantas, tubuhnya yang tengah terbaring di atas ranjang itu ia gerakkan. Perlahan, ia ubah posisinya menjadi duduk. Lalu, sepasang pualam hitam legamnya itu tampak bergerak, seperti mengamati keadaan sekitarnya itu.

Lebih tepatnya, keadaan kamar yang terlihat begitu senyap.

Na Jaemin tahu betul tempat apa ini. Bukan, bukan tempat berbahaya yang dapat mengancam keselamatannya. Melainkan rumah— ah, agaknya bisa dibilang markas milik Lee Jeno.

Menarik napas panjangnya sejenak, laki-laki berwajah manis itu kemudian bangkit dari ranjang. Lalu saat menyadari rasa sakit yang tiba-tiba menjalar pada sekujur tubuhnya itu, ia meringis pelan. Mulai berjalan kearah kaca cermin yang berada tak jauh darinya.

"Ck, shit!"

Na Jaemin langsung berdecak setelah menatap keadaan tubuhnya yang tampak dipenuhi oleh banyaknya goresan luka. Lantas mulai berpikir, apa yang sebelumnya terjadi?

Apakah, Lee Jeno baru saja—

"Lo siapa?"

Laki-laki itu segera menoleh, setelah mendapati sebias suara yang begitu familier menyapa indra pendengarannya. Mendapati Sang sahabat yang tengah menyembulkan kepala dari balik pintu kamar berwarna cokelat tersebut.

"Haechan?"

"Oh, Jaemin, toh."

Na Jaemin mengerutkan keningnya agak dalam, sedikit bingung kenapa Lee Haechan bisa berada di tempat ini, "lo kok bisa ada di sini? Lo ngikutin Jeno?"

Haechan mendengus, "ada alat pelacak yang Prof. Lee tanam di tubuh lo, Jaemin. Dan alat itu tersambung langsung ke perangkat gadget punya Hara. So, gue tahu dari situ," jelasnya.

Jaemin terdiam, terkejut setelah mengetahui adanya alat pelacak yang ternyata tertanam di dalam tubuh miliknya itu.

Sepertinya alat tersebut ditanam saat dirinya tengah menjalankan perawatan di rumah sakit tempo hari yang lalu.

"Kalau gue lihat dari kondisi tubuh lo sekarang, kayanya Jeno barusan diserang sama beberapa komplotan, ya?" tanya Haechan sembari memandangi goresan luka pada tubuh Na Jaemin, "mobil lo, juga banyak bekas tembakannya."

Sekali lagi, laki-laki yang hingga saat ini masih memakai seragam sekolahnya itu tampak terkejut. Diserang katanya? Lalu oleh siapa? Seriusan, kepala Na Jaemin mendadak pening setelah mencoba untuk memikirkan segala macam kemungkinan tak masuk akal yang tengah menggerogoti otaknya itu.

"Masalah ini mending dikesampingkan aja dulu. Lebih baik sekarang kita pulang, sebelum luka-luka lo infeksi kalau nggak diobatin," ucap Haechan yang hanya dibalas anggukan lesu dari sahabatnya itu.

Lalu saat kaki Na Jaemin hendak melangkah untuk keluar dari dalam kamar, suara milik Haechan, lagi-lagi membuat dirinya tertegun. Terkejut sampai bibir tipisnya itu mendadak kelu, tak bisa untuk sekadar berkata-kata.

"Dia balik, Jaem. Gue harap, lo bisa lebih hati-hati setelah ini."


























To be continued...


𝗠𝗲 𝗮𝗹𝘁𝗲𝗿 𝗨 Where stories live. Discover now