[xix] Time To Say Goodbye

Start from the beginning
                                    

Teresa menutup telinganya sambil bersiul pura pura tidak mendengar ocehan Ale barusan. Cewek itu terlihat sama sekali tidak peduli jika memang nanti akan ada sesuatu yang terjadi padanya, dia tetap bersikeras untuk ikut Ale ke London.

"Hey! did you listen to me???"

"Kagak! pokoknya gue mau ikut, atau─"

"Or what?!"

"Atau.. y─ya pokoknya gue mau ikut, please??"

Ale menghela napas berat sambil merotasikan bola matanya, dan akhirnya pun mengiyakan daripada harus berurusan dengan Darren. Cowok itu tidak begitu dekat dengan orang orang yang berhubungan dengan teman dekatnya, tetapi mungkin Teresa anak yang mudah bergaul dan ramah, jadi tidak sulit baginya untuk merasa akrab.

"Tapi gue nggak mau nganter lo balik lagi ke Jakarta ya" Peringatan dari Ale tampaknya membuat gadis di hadapannya sangat terkejut sampai ia tersedak minuman yang sedang ia minum.

"Emangnya lo nggak balik ke sini lagi?"

"Jansen kayaknya enggak akan balik ke Jakarta, lo lupa dia hilang ingatan? selain itu juga kayaknya neneknya nggak akan kasih ijin Jansen buat balik sekolah di sini, secara teknis selama Jansen ada disini tuh banyak banget masalah yang datang ke dia" Ale menjelaskan.

Berteman sejak kecil membuat laki laki itu terbiasa mengamati hampir seluruh perilaku keluarga besar Jansen yang sangat disiplin, tegas dan selalu memandang kasta orang orang yang berhubungan dengan keluarganya. Dia tidak mau ada sesuatu yang membuat keluarganya tampak rendah.

"Loh, kalo gitu Abigail─"

"Oiya, gue lupa kasih tau sesuatu yang penting. Cuman Mr. Lawrence yang menentang perjodohan di keluarganya, makannya dia enggak bertahan lama sama Mrs. Alice, karena mereka selalu memandang status keluarga, sedangkan Mrs Alice cuman sebatas anak yatim piatu yang beruntung banget bisa dinikahin Mr Lawrence. Amber sama Hayley─dua duanya dijodohin, dan kemungkinan besar... udah ada tiga perempuan yang disiapin buat Darren, Jansen and Marcell."

"WHAT?!"

"Ya.. itu point penting keluarga Jansen."

"Oke, apapun itu gue harus kasih tau Abigail. Lo bilang mereka selalu memperhatikan kasta 'kan?"

Ale mengernyit, entah apa yang akan dilakukan oleh gadis unik yang satu ini.

"Maksud─"

"Abigail kasta atas tolol."

Ale terlonjak kaget, selama berada di Indonesia─ia belum pernah sekalipun mendengar seorang gadis mengumpat seperti itu di hadapannya. "Awesome.." Ale membatin.

**

Greenwich Park ─ London.

Tempatnya masih terlihat sama bahkan setelah belasan tahun lawrence tidak mengunjunginya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tempatnya masih terlihat sama bahkan setelah belasan tahun lawrence tidak mengunjunginya. Dulu tempat ini merupakan tempat yang selalu menjadi tujuannya untuk mengajak Darren jalan jalan ketika dia sedang sakit, pulangnya Lawrence selalu membelikan es krim rasa coklat untuknya, bahkan toko es krim itu masih ada sampai saat ini, meski penjualnya sudah bukan orang yang sama. Masih banyak anak anak kecil yang bermain di area taman.

"Tidak asing, tapi terasa asing.." Jansen bergumam sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar hamparan rumput yang luas ini.

"Kamu sering bermain disini waktu kecil" Lawrence menyahut, Jansen menoleh dan memasang wajah bingungnya sebagai respon.

"Sama siapa?"

"Sama─dia," Jawabnya sambil menunjuk pada seseorang yang memakai setelan serba putih tengah duduk di atas rumput tidak jauh dari tempat mereka berdiri, punggung sempit Darren sangat mudah untuk dikenali. Bahkan Jansen pun mengenalinya.

"Saudara tiri ku??" ungkapnya terkejut.

"he's not your stepbrother. Sana, ajak dia ngobrol, dad tunggu disini"

Meski tampak enggan, akhirnya Jansen tetap menuruti ucapan ayahnya.

Menghampiri Darren yang tengah duduk sendirian sambil mendekap kedua kakinya, memandangi warna jingga langit yang menunjukkan senja telah datang. Jansen duduk disampingnya, sedikit terkejut mendapati wajah pucat laki laki itu, namun ia memilih untuk acuh.

"Senja yang indah bukan?" Darren menyeletuk.

Jansen mengangguk sekenanya menanggapi basa basi yang Darren ucapkan, ya senjanya memang cantik, warna jingga dan ungu berpadu menjadi satu di langit kota London.

"Banyak manusia menyukai fenomena bernama senja, banyak yang mencintainya even saat mereka tau─mereka akan ditinggal pergi tanpa janji untuk kembali lagi."

"Bodoh." ─Jansen

Darren mengulum tawa, lantas menyambung kalimatnya tadi, "Sampaikan kalimat itu pada gadis yang kamu temui suatu hari nanti, dia berambut legam, memiliki manik coklat, bertubuh tinggi, unik dan.. cantik. Namanya Teresa kalau kamu mau tau."

"Untuk apa?" Jansen tampak tertarik dengan obrolan darren.

"Untuk memberitahu jika 'leave you doesn't mean I stop loving you. Dia terlalu pintar untuk mencintai senja sepertiku, katakan padanya temukan laki laki yang lebih baik dariku, yang tidak akan meninggalkannya suatu saat nanti."

Jansen harusnya tidak peduli dengan apa yang barusan Darren ucapkan, seharusnya ia tidak merasa senyaman dan se-aman ini berada di dekat Darren, seharusnya tidak terbesit rasa sedih saat laki laki disampingnya seolah sedang menyampaikan kalimat perpisahan, dan seharusnya dia tidak merasa bersalah ketika Darren berdiri dan beranjak pergi meninggalkan area taman.

Jansen ingin menahannya, ingin mengulur waktu agar bisa lebih lama mengobrol dan dekat dengan Darren, namun rasa itu terkalahkan oleh besarnya rasa gengsi.

Berapa menit setelah cowok itu pergi, Lawrence menghampiri Jansen. Mengajaknya untuk pulang kerumah, karena sebentar lagi tugas senja akan selesai dan digantikan oleh malam.

Sebelum benar benar pergi, Jansen sempat menoleh hanya untuk melihat bagaimana punggung yang terlihat rapuh itu perlahan menghilang dari pandangannya.

**




















𝐓𝐨 𝐛𝐞 𝐜𝐨𝐧𝐭𝐢𝐧𝐮𝐞𝐝

─ 𝐓𝐨 𝐛𝐞 𝐜𝐨𝐧𝐭𝐢𝐧𝐮𝐞𝐝 ─

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Brother, mgicboba
20/3/21

BROTHERWhere stories live. Discover now