PROLOG

104 50 52
                                        

Hai kamu…
Perempuan yang tegar
Senyumanmu merekah ceria
Semangatmu sungguh luar biasa
Tetaplah seperti itu
Jangan pernah berubah 
Karena…
Disaat melihat dirimu tersenyum
Diriku juga ikut tersenyum
Ada sesuatu yang membuatku merasa bahagia
Entah itu apa
Aku juga tak tahu

Hai kamu…
Jangan pernah pergi
Kalau kamu pergi
Dan tak ada di sampingku lagi
Hari-hariku akan terasa sunyi
Hatiku juga merasa rindu
Karena…
Kamu adalah segalanya bagiku

Tepat dikata yang terakhir setelah membaca puisi itu, buliran-buliran bening pun berguguran dipipi tanpa permisi, hingga membasahi sebuah kertas yang masih ia pegang dengan tangannya. Ia terus menunduk sambil terisak.

"Nyatanya kamu sendiri yang pergi meninggalkanku," lirihnya dengan suara yang serak.

"Kenapa kamu pergi secepat ini? Lalu siapa yang akan melindungiku? Janjimu memang omong kosong belaka. Hanya sekedar kata yang terucap dimulut tanpa ada sebuah tindakan yang nyata." Ia meremas kertas yang masih terpegang ditangannya.

Gejolak rasa sakit dihatinya mampu membuat pikirannya bercampur aduk dan tidak bisa berpikir positif. Mungkin ia belum bisa menerima kenyataan yang sudah benar-benar terjadi atas kehendak Sang Pencipta alam semesta.

Sesuatu yang tidak akan terjadi bisa saja terjadi. Entah kapan dan dimana kejadian itu bermula. Kita tidak akan bisa mencegahnya. Meskipun bisa … Tetap saja akan terlihat sangat mustahil. Karena kita hanya manusia biasa, dan kita juga bukan paranormal yang bisa melihat takdir seseorang.

Perempuan itu mengusap bulir-bulir bening yang masih tersisa dipipinya, dan membuang kertas yang ia genggam tadi ke sembarang tempat. Lalu ia segera berdiri dari kursi panjang yang terbuat dari kayu tersebut dan beranjak pergi dari taman itu.

Dirinya terus berjalan tidak tentu arah. Ia bingung harus pergi kemana. Lagi-lagi bulir-bulir bening itu tiba-tiba saja datang tanpa disuruh. Matanya juga terlihat sangat sembab dan hidungnya memerah.

Banyak orang-orang yang menatap ke arahnya. Tetapi ia tak memperdulikannya. Biarkan saja mereka melihat dirinya, karena mereka juga punya mata yang gunanya untuk melihat.

Ia terus berjalan, berjalan, dan berjalan tanpa tujuan. Ia juga tidak begitu memperhatikan jalan yang ia lewati. Dari tadi ia berjalan sambil melamun, pikirannya sungguh sangat kacau. Dan tiba-tiba saja….

"Devia awas!!"

Tinggalkan RasaWhere stories live. Discover now