"Touya...moshi-moshi", setidaknya ponselku tidak tertinggal.

[Kau di mana?]

"Pabrik Nomu yang satunya"

[Apa? Secepat ini? Bukannya besok? Sudahlah...tepatnya di mana?]

"Uhm..."

Aku perlu cek keluar, aku harus hati-hati juga kalau keluar.

Lewat pintu belakang saja, jendelanya ada di atap sih.

Aku ke jalan besar.

"Pemukiman!?"

Pa-pabrik ini...berada di tengah-tengah pemukiman orang sipil!?

I-ini bahaya!

Kenapa harus di sini?

Untuk kamuflase ini terlalu bahaya!

[Pemukiman? Apalagi yang kau lihat?]

Ini...terlalu bahaya memang.

Touya benar...aku tidak bisa terus begini.

Aku bisa mati kapan saja jika terus begini.

[Oi, (y/n)! Doushita?]

Kowaii!

Aku sudah terlanjur...

Jika Nomu ini mengamuk di sini...

Banyak orang tak berdosa menjadi korban.

"Touya..."

[Aku ke sisimu sekarang]

"Apa kau...bisa menjamin aku akan aman?"

[...]

B

ahkan dia sendiri tidak bisa menjawab.

Aku tidak tahu di masa lalu apa yang terjadi setelah dia menghilang sakpai jadi villian.

Aku memang polos.

Sudah tahu bahaya aku masih bertahan.

"Tou--!"

Syut.

"Sst~"

🧤🔥🧤

*Author POV*

Dare?! Musuh? Bukan, ada besi yang kurasakan di bibirku ketika orang ini membekapku dari belakang, pikirmu

Dabi alias Touya ada di belakangmu.

Dia melepasmu dan kau pun berbalik menghadapnya.

Dia meletakkan jari telunjuknya di depan bibir menyuruhmu untuk diam.

Tangannya menggenggammu dan dia jalan.

Kau hanya bisa mengikutinya bak anak ayam.

Anak ayam cari induknya~ :v//plak

Masuk kembali ke dalam pabrik Nomu dan mengunci pintu.

Dalam diam Dabi memberimu sebuah kotak kardus kecil.

"Apa ini?", kepalamu miring sedikit bingung dengan pemberian kekasihmu.

Tetap diam Dabi mendorongmu ke arah kamar mandi.

"Eh, Touya ini apa? Jelaskan dong"

Kau di dorong Dabi ke dalam toilet lalu dia menutupnya dan menahan pintunya.

Masih dalam keadaan bingung, akhirnya kau membaca tulisan di kardus kecil itu.

Matamu membalalak seketika.

"Touya, kau tidak berpikir aku...hamil kan?"

Yang di luar hanya diam.

Helaan nafas keluar dari bibir ranummu.

Dabi masih belum tahu soal penyakitmu yang sebenarnya dan hanya menyimpulkan kejadian tadi.

Mau tidak mau kau oun memakainya.

Tak lama kemudian kau keluar.

Dabi yang menunggu langsung menghampiri.

Kau hanya tersenyum kecut.

Hasilnya negatif.

Tentu saja karena Dabi "main" denganmu pakai pengaman.

Dabi salah paham ternyata.

"Aku mual tadi karena...telat makan", bohongmu.

"Kau belum makan?"

"Sekarang sih sudah, tidak perlu khawatir"

Dabi mengusap puncak kepalamu.

Kalian kembali ke ruang depan di mana banyak Nomu yang belum jadi.

Kau membuka dokumen yang ada di satu-satunya meja di tempat itu.

Dabi duduk dan memperhatikanmu.

Kau sendiri belum tahu kalau Dabi juga belum sepenuhnya mempercayaimu.

Sekalipun ia menyatakan perasaannya berkali-kali.

Diam-diam dia mencari informasi tentangmu yang sebenarnya.

"Hei [y/n]"

"Hm?"

"Aku tunjukan sesuatu yang menarik"

Kau pun menatap Dabi.

Dabi melepas staples di wajah sebelah kirinya dan meletakkannya di meja.

Dia menoleh ke samping.

Sebelah kirinya yang longgar ditariknya ke belakang sedikit lalu dia menjukurkan lidahnya.

Merinding disko dirasakan olehmu.

"Bagaimana? Menarik kan?", kata Dabi dengan entengnya. "Woi, malah nangis!"

"Kowaii huweee"

"Ma-maaf a-aku tidak bermaksud menakutimu", Dabi panik tidak menyangka dia malah membuatmu menangis.

"Sakit kan? Ja-jangan lakukan lagi huhuhu"

"Go-gomen"

Dabi pun memasang staples lagi setelah menyuntikkan sedikit bius ke bagian yang dia lepas staplesnya.

Tangannya mengelus kepalamu berusaha menenangkanmu.

Sementara dia tidak bisa bicara karena pengaruh bius.

Menenggelamkan kepalamu ke dada bidangnya.

Dabi menjadi bingung oleh perasaannya sendiri.

Ia tidak mempercayaimu sepenuhnya namun di lubuk hatinya dia mencintaimu.

UntouchableWhere stories live. Discover now