9 | MY SUNSHINE

10K 2K 213
                                    

"Bapak."

Didi hafal lokasi bapak sering berada, sejak beliau mulai mengurangi aktivitasnya di perusahaan. Bapak mirip Didi, suka berkebun. Lahan di sekeliling rumah luasnya sudah cukup untuk bisa dikatakan sebagai ladang buah. Banyak pohon ditanam oleh bapak sendiri sejak Didi masih kecil. Kini, jumlahnya mencapai ribuan. Mulai dari pohon durian, nangka, apel, segala macam ada.

Belakangan, bapak suka sekali dengan kesemek hitam. Biasa disebut juga sebagai sawo hitam atau black sapote. Karena bentuk buahnya lebih mirip kesemek daripada sawo, bapak dan Didi sepakat menyebutnya kesemek hitam saja.

Mendengar suara Didi, bapak menoleh. Beliau menurunkan kacamatanya sampai hidung agar bisa melihat Didi yang baru datang. Keringat sebesar biji jagung memenuhi dahinya. Beliau membetulkan topi lebar yang terbuat dari anyaman rotan sembari menyuruh Didi mendekat.

"Coba ini."

Bapak mengulurkan pisau lipat yang ujungnya sudah berisi daging buah berwarna hitam. Didi mencondongkan tubuhnya ke depan minta disuapi. Karena teksturnya lembut, Didi tak perlu mengunyah daging buah itu. Rasanya manis dan meninggalkan kesan rasa pudding cokelat di lidah saat ia menelannya. Bapak dapat membaca ekspresi penuh apresiasi di wajah datar Didi. Beliau ikut mencoba buahnya juga.

"Kalo dijual, sekilo bisa nyampe tiga ratus ribu, Di," ujar bapak seraya mengangkat buah yang terbelah di tangan kiri. Ukurannya cukup besar. Jika bapak memang berniat menjualnya, satu kilo hanya berisi dua biji saja.

"Perawatannya mahal, Pak. Udah banyak yang panen?"

Bapak memandang sekeliling, lalu terkekeh pelan. "Cuma dua pohon." Jawabannya membuat Didi ikut memandang sekeliling juga.

"Didi bawa selai stroberi. Habis panen." Cewek itu mengibaskan tangan ke bagian depan cardigan-nya karena seekor kumbang hinggap di sana.

"Gulanya banyak?" Bapak mengambil daun kering yang jatuh di kepala Didi.

"Stroberinya udah manis, kok. Jadi, gulanya nggak banyak-banyak."

Bapak menganggut-manggut. Beliau memang sedang mengurangi asupan gula agar lebih sehat. Sembari memeluk pundak Didi, beliau menuntun putrinya kembali ke rumah. Mereka berjalan bersisian ditemani suara gemersik dedaunan di bawah kaki mereka.

"Kamu ... sehat, 'kan?" Satu hal yang sama-sama dimiliki oleh bapak dan Didi adalah kurang mahirnya mereka membuka percakapan untuk sekadar basa-basi.

"Sehat. Bapak?"

"Iya, sama."

Bapak mengeratkan pelukannya di pundak Didi. Ia yakin putrinya sesehat yang dikatakan. Dalam diam mereka menikmati perjalanan kembali ke rumah sambil ditemani angin sepoi-sepoi.

***

Keluarga pertama yang punya jadwal makan siang bersama tiba di rumah orang tua Didi sepuluh menit sebelum jam dua belas tepat. Mereka berisi Pakde Gino, Bude Asih, dan Tyo. Keluarga Pakde Gino datang dengan seragam batik-batik seperti tamu kondangan. Serasi dengan eyang yang setiap hari mengenakan kebaya.

Dua keluarga terlibat obrolan ringan, terutama setelah Ariana datang. Ia sengaja pulang lebih cepat untuk ikut makan bersama keluarga Bude Asih. Selain ibu, Bude Asih juga akrab dengan Ariana karena cewek itu sering ikut nimbrung di acara arisan perkumpulan ibunya. Didi sibuk dengan pikirannya sendiri. Setiap kali diajak bicara oleh Pakde Gino dan Bude Asih, ia hanya menjawab pendek-pendek.

"Nak Didi wetonnya apa?"

"Nggak tau."

"Jumat Kliwon," sahut ibu.

Smitten [Published by Karos]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang