01.01.01 : 🎶 7 Rings

14 0 0
                                    

Musik dapat dimaknai secara luas oleh setiap orang.

Bagi Iris, musik itu seperti angin. Setiap melodi yang terdengar dapat membawanya pada sebuah perasaan, entah itu senang, sedih, muak, bahkan nafsu. Musik itu tidak dapat dilihat, tetapi keberadaannya dapat dipahami, hanya dengan mendengar dan merasakannya.

Iris akan senang sekali jika membicarakan musik, tidak akan pernah cukup waktu untuk membicarakan hal yang dicintainya tersebut. Tetapi itu dulu. Dulu sekali sebelum ia merasa jenuh akan musik, dan perasaan yang selalu ia puja ketika mendengar ataupun memainkannya.

Iris bukanlah seorang jenius musik, tetapi ia tahu bahwa ia adalah orang yang konsisten.

Dia lahir dari kalangan eksper musik. Ayahnya adalah seorang konduktor orkestra puluhan tahun yang lalu, ibunya adalah seorang diva jaz. Masa kecil Iris penuh dengan balok-balok partitur dan napasnya adalah lantunan instrumen dalam studio maupun aula. Mungkin hal itu yang membuatnya jatuh hati pada musik, tetapi juga membuatnya patah hati pada musik.

Ayahnya selalu mengajarkan bahwa musik adalah harga diri keluarga Murasaki, maka dari itu setiap karya yang dihasilkan haruslah presisi tanpa cacat. Tentu petuah yang dikatakannya bukanlah omong kosong belaka. Buktinya, melalui prinsip tersebut ayahnya dapat memperoleh berbagai penghargaan dan gelar kehormatan sebagai seorang konduktor.

Sedangkan ibunya mengajarkan bahwa musik adalah apa yang ingin kita sampaikan. Jika boleh berkomentar, menurut Iris jaz adalah salah satu genre yang kompleks, tetapi jaz yang dibawakan ibunya selalu terdengar classy sekaligus menenangkan. Dengan prinsip-prinsip yang dipahaminya tersebut, Iris pun dapat setidaknya bertahan dalam dunia musik. Satu atau dua prestasi bukan masalah baginya.

Iris bukanlah seorang jenius musik, tetapi ia tahu bahwa ia adalah orang yang konsisten.

Pandangannya pada musik berubah ketika menginjak sekolah menengah pertama. Suatu hari ayah dan ibunya terlibat dalam sebuah pertengkaran. Iris tidak tahu pasti apa penyebabnya, tetapi ia mendengar beberapa kata seperti persaingan, Naoshima, dan harga diri keluarga. Buah dari pertengkaran tersebut adalah ibunya yang pergi meninggalkan kediaman Murasaki, dengan air mata, tanpa sepatah kata, dan hujan lebat sekali malam itu. Lalu ayahnya menyusul kemudian, terlihat terburu-buru, dan penuh penyesalan.

Kecelakaan itu akhirnya terjadi.

Ayah Iris yang kehilangan fokus saat menyetir membuat mobil yang dibawanya bertabrakan dengan kendaraan lain. Kecelakaan itu begitu parah hingga membuatnya mengalami kelumpuhan permanen. Ia harus rela kehilangan keahliannya menyusun partitur dan berdiri memegang baton kebanggaannya, ia harus kehilangan segala pujian tentang musiknya.

Sejak malam itu pula ibunya tidak pernah kembali.

Kejadian tersebut seolah menutup hati seorang Murasaki Ryo, ayah Iris. Ia ingin menjadikan putranya sebagai penerusnya, menjadikan Iris seorang konduktor musik, meneruskan mimpinya yang tersandung di tengah jalan. Tetapi Iris tidak pernah berharap untuk menjadi seorang konduktor musik, ia sudah punya bidang musiknya sendiri. Menjadi seorang Violinist.

Untuk pertama kalinya Iris menentang sang ayah. Ia tetap kekeh terhadap permainan biola di samping dorongan Ryo yang tidak pernah lelah membujuk Iris.

Hingga kini usianya menginjak 17 tahun, sang ayah tiba-tiba memindahkannya dari sekolah musik Shiroyama ke Naoshima Academy of Arts, sekolah yang dahulu sempat ia dapatkan surat rekomendasinya. Iris tidak terlalu bodoh untuk sekadar mengetahui kalau sekolah tersebut adalah milik konduktor yang menjadi rival sang ayah, Naoshima Daichi. Mungkin ayahnya ingin menunjukkan bahwa meskipun dirinya sudah pensiun dari bidang permusikan, tetapi ia memiliki penerus yang jenius. Setidaknya itu yang Iris pikirkan selain kenyataan bahwa ayahnya tidak pernah menyerah untuk menjadikannya seorang konduktor.

Painting Through Your MelodiesWhere stories live. Discover now