Sebagai seorang kepala keluarga Ahmad merasa bersalah karena tak mampu memberikan kehidupan yang mewah untuk anak dan istrinya. Ia sangat bersyukur memiliki istri seperti Sera yang tidak mempermasalahkan semua ini, Sera tidak menuntut apa-apa darinya. Malah Sera membantu Ahmad untuk keuangan rumah tangganya. Sera adalah istri dan Ibu yang sempurna menurut Ahmad.

****

Saat ini Nala tengah makan bersama dengan Levino yang baru saja mengganti pakaian setelah mandi. Suasananya sunyi tak ada yang memulai pembicaraan, sejujurnya Nala masih canggung kepada Levino. Karena memang Nala tak dekat dengan Abangnya itu.

"Eumm Bang Ino, gue boleh tanya nggak?" akhirnya Nala membuka suaranya.

"Tanya aja," ucap Levino sambil mengambil makanan dengan sendoknya lalu ia masukan kedalam mulutnya.

"Di sekolah Bang Ino ada jurusan psikologi?" tanya Nala.

"Adalah, emangnya kenapa? Lo mau ngambil jurusan itu?" jawab Levino sambil menatap Adiknya.

"Iya gue tertarik sama dunia psikologi dan gue rasa gue mampu ngambil jurusan itu," ucap Nala sambil mengangguk semangat.

"Kenapa nggak ngambil jurusan kecantikan aja? Di kampus gue ada tuh. Biar lo belajar mempercantik diri," ucap Levino seraya meminum air.

"Lagian nih ya gue tuh heran sama lo, lo liat Ibu dia itu cantik tapi kenapa anak ceweknya nggak nurun cantiknya," tambah Levino sambil menatap Adiknya meneliti.

"Nggak semua anak itu wajahnya mirip sama orang tuanya," balas Nala.

"Iya contohnya elo. Kek anak hasil temuan," ucap Levino terus mengejek Adiknya.

Memang seperti ini jadinya jika Nala dan Levino mengobrol mereka akan terus beradu argumen. Jika salah satu dari mereka masih terus berbicara maka akan terus seperti itu, tapi jika salah satu dari mereka memilih mengalah atau menyudahinya maka semua itu akan berakhir.

"Siapa bilang cuma gue, diluar sana pasti banyak kok," ucap Nala tak mau kalah.

"Gue tau Ibu itu cantik Bang, tapi lo liat Ayah dia nggak sebegitu ganteng. Mungkin karena gue nurunin Ayah makannya gue jelek," lanjutnya.

Apa yang dikatakan Nala itu benar. Sera memang terlalu cantik untuk Ahmad.

"Anak durhaka lo, pantes aja lo selalu di nomor duakan sama Ayah lo nya aja nggak punya adab kek gini," ucap Levino menatap tajam adiknya.

Baru pertama kali Nala berani berbicara seperti ini. Nala sendiripun ia tak tau mengapa mulutnya mengatakan hal yang seperti itu.

"Siapa bilang gue nggak punya adab, orang kenyataannya aja gitu," sudah terlanjur berucap seperti itu, jadi untuk apa ia mengelak.

"Lo mulai jadi pembangkang ya, sebagai hukumannya lo cuciin tuh piring gue," ucap Levino dan pergi dari hadapan Adiknya.

Nala menghela nafas berat, dan langsung menuruti perintah dari Abangnya.

"Ayah maafin Nala ya. Nala nggak bermaksud ngejek Ayah kok," ucap Nala sambil mencuci piring. Ia merasa bersalah telah berbicara seperti itu.

"Ngejek Ayah? Apa maksud kamu Nala?" tanya Ahmad yang tiba-tiba datang.

Nala langsung membalikkan badannya dan ia sangat terkejut saat mendapati Ayahnya yang sedang berdiri dihadapannya.

"A-ayah enggak kok Nala gak ngejek apa-apa," elaknya tak berani mengatakan yang sebenarnya.

"Kalo orang tua nanya itu jawab yang bener!" ucap Ahmad tegas.

"Nala tadi cuma gabut aja ngomong kek gitu," ucap Nala masih berbohong.

"Dasar tidak jelas, yasudah kamu lanjutkan pekerjaan kamu," ucap Ahmad tidak habis pikir dengan tingkah Nala.

"Setelah mencuci piring kamu elap lantai depan yang basah karena air hujan."

"Kamu tidak usah protes. Lakukan apa yang Ayah suruh agar kamu terlihat berguna disini," baru saja Nala ingin mengeluarkan suaranya tapi Ayahnya lebih dulu memotongnya.

Nala hanya mengangguk sebagai jawaban. Dimata Ayahnya Nala itu dianggap anak yang kerjaannya hanya merepotkan otangtua saja. Apapun yang Nala lalukan selalu tak dianggap olehnya. Dan jangan lupakan Nala selalu disalahkan atas apa yang bukan salahnya.

Tapi Nala bersyukur selama ini ia tak pernah mendapatkan pukulan atau tamparan dari kemarahan Ayahnya. Jika Ayahnya marah dia hanya terus mengomel dan mengungkit kesalahan Nala yang dulu-dulu. Nala juga bersyukur karena masih ada Ibunya yang selalu bersikap adil dan melindunginya.

Saat Nala merasa sedih karena perilaku Ayahnya dan Abangnya yang selalu mengejek Nala, pasti Sera akan datang untuk menenangkan Nala dan menghiburnya. Bagi Nala Sera—Ibunya bukan hanya berperan sebagai Ibu tapi juga dia berperan sebagai sahabat yang selalu ada dan siap meminjamkan bahunya untuk bersandar. Nala sangat menyayangi Ibunya lebih dari apapun.



                              √TBC√

Pencet tombol bintang yahh komen juga jan lupa.

Maap kalo ada typo...

See you next part💓

PANTAS KAH?Where stories live. Discover now