🐢 Part 13 🐢

Start from the beginning
                                    

Saat memasuki lift, Diaz hanya sendiri. Sunyi, hal itu mengingatkannya kembali pada kejadian kemarin. Di mana ia tidak dapat lagi belajar pada paman Syifa, yang otomatis akan mengurangi intensitas pertemuannya dengan Syifa.

Ah, tidak apa-apa. Terpenting, dia masih bisa menemui Syifa di kantor. Diaz melangkah keluar dari lift saat telah tiba di lantai divisinya. Ia menatap pada kubikel milik Syifa sejenak. Keningnya terlipat saat mendapati kubikel itu kosong. "Hey. Syifa nggak masuk?" tanyanya pada salah satu teman divisinya.

"Oh, Syifa lagi di ruangannya Pak Gio," jelasnya. Membuat Diaz semakin melipat keningnya.

"Ngapain?"

"Katanya, sih ngasih surat pengunduran diri." mata Diaz membola, ia segera keluar dari ruangan divisinya dan segera menaiki lift menuju lantai ruangan di mana papanya berada.

Sudah tidak bisa belajar di tempat Syifa. sekarang Syifa mau berhenti dari kantornya? Tidak. Diaz tidak akan membiarkan itu terjadi. Baru saja ia keluar dari lift, bertepatan pula dengan Syifa yang baru keluar dari ruangan papanya. "Fa," panggilnya.

Syifa mendongak, ia sempat terkejut akan keberadaan Diaz saat ini. Ia pikir, saat tidak mendapati Diaz di divisinya, ia pikir Diaz tidak masuk hari ini. Berpikir semuanya akan mudah. Ternyata, ia salah. Bahkan saat ini Diaz berada di hadapannya.

Mencoba tak menghiraukan Diaz, Syifa kembali menunduk dan melanjutkan langkahnya. Namun, sebuah cekalan pada ujung pasminanya membuat ia terpaksa berhenti.

Diaz masih ingat jika ia tidak bisa memegang tangan Syifa. "Kenapa kamu keluar dari kantor?" tanya Diaz dengan masih menahan pasmina Syifa

"Tidak apa-apa. Hanya ingin berhenti saja," jelas Syifa tanpa menatap Diaz.

"Apa karena aku? Masalah kemarin?" tanya Diaz kembali. Tanpa disadari Diaz, Syifa mengeratkan genggamannya pada ujung lengan bajunya. Tidak mungkin jika ia mengatakan memang karena hal itu.

"Fa," panggil Diaz lagi.

Kali ini, Syifa menggeleng. "Bukan. Saya hanya merasa tidak cocok bekerja di sini."

"Apa? Katakan! Katakan padaku apa yang membuatmu tidak cocok bekerja di sini. Aku anak pemilik perusahaan ini, aku akan meminta Papa untuk mengubah apa pun yang membuat kamu tidak nyaman bekerja di sini. Aku ak—" Ucapan Diaz terhenti saat Syifa mendongak dan menatapnya. Diaz melihat mata Syifa yang sudah berkaca.

Sedangkan Syifa, ia mencoba sekuat tenaga untuk tidak menjatuhkan air matanya yang saat ini telah terkumpul.

"Maaf," ucap Shifa lirih sembari menarik pelan pasminanya yang masih dipegang Diaz. Mendengar suara lirih Syifa dan mata berkacanya membuat hati Diaz sakit. Seolah teriris dengan sesuatu yang sangat tajam. Tak ada luka, tapi sakitnya terasa nyata.

Dadanya terasa sesak, matanya memanas dan mulai berkaca. Dengan berat hati, Diaz melepaskan pegangan pada ujung pasmina Syifa. Membiarkan Syifa berlalu dari hadapannya. Pandangan keduanya sempat terpaku saat Syifa menunggu pintu lift tertutup. Tepat saat pintu itu hampir tertutup, air mata keduanya sama-sama jatuh. Menangisi keadaan yang memaksa mereka untuk saling jauh.

Saat dua hati saling mencinta terhalang restu, tidak ada cara lain untuk membuka restu itu. Kecuali meminta pada-Nya di sepertiga malam, mendoakan yang dicinta selalu dalam lindungan-Nya.

Labuhan terakhirWhere stories live. Discover now