"Toh, kemarin dokter bilang aku enggak apa-apa kan asal bisa jaga kondisi. Tapi ya itu, kegiatan di sekolah lagi padet banget," tambahku.

"Siapa yang sekarat?"

Suara bariton itu terdengar menggema dari arah selasar. Tak perlu capai-capai menoleh karena aku sudah hapal dengan suaranya. Gema. Cepat sekali sampainya. Apa dia punya sayap?

"Apa kabar, Tante?" sapanya pada Mama begitu sampai. Aku pun sengaja tak mengacuhkan keberadaannya dengan menikmati sarapanku.

"Kabar Tante baik. Kalo gitu, Tante ambil tas dulu di kamar ya. Udah telat soalnya." Mom mengusap air mata di sudut mata kirinya. "Gema sarapan aja, temenin Aluna."

"Iya, Tante," jawab Gema. Setelah Mom menjauh, Gema menatapku, penuh. Dan dia berkata, "Don't play tricks on me, Aluna."

"Ih, apaan sih?" Aku meminum susunya lambat-lambat sambil berpikir hal apa yang harus kukatakan pada Gema, tapi hasilnya nihil. Aku tidak menemukan topik yang bagus untuk mengalihkan pikirannya.

"Sial!" gerutuku. "Pada akhirnya gue harus ngaku juga. Ih, sebel gue!"

Gema tertawa sambil mengacak rambutku sesaat. "Gue lebih kenal lo daripada diri lo sendiri, Na."

***

"Kale...." Aku berteriak kaget ketika tiba-tiba Kale mengerem di hadapanku. Aku mengelus-elus dada. "Untung gue enggak jantungan beneran, Le. Kalo iya, bisa absen lagi gue." Kuhela napas panjang, menenangkankan diri. "Pasti gabut lo ya nungguin gue di kelas?"

Mata Kale melirik tajam mengikuti arah Gema sewaktu cowok itu melewati kami begitu saja dan berjalan menuju loker di ujung lorong sebelah kanan dari kelas 11 IIS A. "Kenapa enggak bilang kalo Gema yang jemput lo sih, Na?"

"Lho, kenapa? Cemburu?" Aku melanjutkan langkah menuju kelas.

Kale menyusulku. Langkahnya terdengar gelisah. "Ya tapi kan kita baru jadian kemarin, Na."

Aku menghentikan langkah, lalu menghadap Kale. "Lo lupa kata gue kemarin? Gue bebasin lo sama Venya or cewek manapun, bukan berarti lo berhak ngelarang gue."

"Gimana, sih? Katanya lo mau bikin gue jatuh cinta sama lo dalam waktu singkat. Tapi lo-nya malah gini."

"Gini gimana?"

"Enggak nganggep keberadaan gue."

"Posesif amat, Mas. Gema sahabat kita juga, kan. Nyantai aja kali."

"Tapi sahabat biasanya bisa jadi penikung ulung."

Aku mengalihkan wajah ke arah lapangan yang membentang luas di bawah. "Gue enggak bakal pindah hati, Le. Lo tenang aja. Gue bener-bener dengan perasaan gue." Aku menatap Kale kembali. "Tapi itu semua tergantung lo juga, sih."

"Aluna," panggil Javier dari arah ambang pintu kelas, berjarak beberapa meter di depan kami.

"Ya?"

Javier memberikan ciuman di telapak tangannya, lalu dilayangkannya padaku. "Tangkap, Na!"

Aku tertawa, tapi tanganku tetap menangkapnya. "Dapet!" Segera kusimpan di saku seragamku, dan menepuk-nepuknya. "Simpen buat entar."

Javier terkekeh seraya menghampiriku. "Gue tunggu di vending machine koridor bawah aja. Sekalian lihat dedek-dedek gemes."

"Hah? Ngapain?"

Javier mengusap-usap kepalaku. "Mau traktir lo minuman."

"Ih, kenapa sih tuh anak?" Tatapanku kembali lagi menghadap Kale setelah Javier menjauh. Rupanya Kale sedari tadi tak memalingkan wajahnya dariku. "Lo kenapa lihatin gue kayak gitu?"

Kale menggeleng pelan. "Enggak apa-apa."

Aku menggigit bibir bawah. Sedikit salting. Kedua pipiku menghangat. "Ng..., Le, gue minta maaf deh soal yang tadi. Kalo itu bikin lo marah, gue janji enggak bakal macam-macam lagi." Senyumku mengembang. "Lo pasti belum makan, kan? Bentar, gue punya sesuatu buat lo."

"Kale!"

Saat aku sibuk mengambil kotak bekal dari kantung kertas yang kubawa, terdengar teriakan Venya. Dan entah mengapa aku menjadi sedikit kesal. Iya sih, tidak apa-apa. Tapi, kenapa harus sekarang??

"Tuh, Le. Gebetan lo," kataku dengan nada tak acuh.

Venya berjalan menghampiri kami sambil berkata, "Kenapa kemaren ninggalin gue, sih? WA gue juga enggak dibales. Lo ke mana, sih?"

Kale berdecak. "Sorry, Na. Gue tinggal dulu, ya."

***

Aku menatap pantofel hitam di atas kursi kayu panjang yang berada di sebelah vending machine dengan bibir yang menekuk ke bawah. Sia-sia usahaku untuk bangun pagi dan membuatkan bekal spesial untuk Kale. Itu semua gara-gara Venya! Memang sih dia cewek populer di SMA Extraordinary, dan bisa bebas melakukan apa saja yang diinginkannya di sini karena yang aku dengar di aitu masih keponakannya Pak Nando, kepala sekolah SMA ini. Tapi kan... argh! Kesel aku!

Ah, kalau begini terus-terusan, rasanya aku ingin menangis saja. Bagaimana kalau sampai Kale tidak punya ruang untukku?

"Nih, minum dulu!" Javier menyodorkan minuman jeruk kaleng ke depanku. "Jangan bengong terus. Masih pagi, Na."

Aku menggeleng. "Siapa juga yang bengong? Gue cuma kesel aja." Kuambil kaleng tersebut dari genggaman Javier. "Thanks, ya!"

"Sama-sama, Una." Javier mengangkat kedua tangannya, memberikan aku semangat. Lalu, dia kembali bersandar di seberangku, di sebelah Gema. Mereka sepertinya bersiap untuk mencecarku.

Aku menghela napas. "Kalo terjadi apa-apa sama gue, kalian jagain Kale buat gue ya."

"Eh, tunggu, tunggu." Javier melangkah mendekatiku lagi, lalu duduk di sejajar denganku. "Tadi gue denger, Kale sama lo pacaran. Itu bener?"

"I-iya." Kuberanikan menatap Gema. "Gue yang minta kemarin."

Javier menghela napas. "Oke, gue enggak akan nanya apa yang jadi alasan lo jadian sama Kale. Karena alasan lo cinta sama aja enggak cukup buat jelasin semuanya." Dia berdiri, lalu berjalan mondar-mandir seperti cewek yang tengah menunggu balasan chat dari gebetannya.

"Kenapa?" tanyaku polos.

Javier berdecak. "Harusnya gue yang nanya itu ke lo. Kenapa Kale? Kenapa enggak gue, Gema, atau cowok lain?"

Aku mengangkat bahu. "I don't know. Susah dijelasinnya." Kuusap wajah dengan kedua telapak tangan. Aku tidak mungkin juga kan bilang kalau aku menyukai Kale.

"Don't be a jerk, Na! Lo tahu kan Kale bakal dijodohin?"

"Iya tahu."

"Lo mau cari masalah atau gimana, sih? Gue enggak ngerti."

"Ngomongnya pelan-pelan aja kenapa, sih." Aku merasa kalau tenggorokanku benar-benar kering sekarang. Aku menunggu reaksi dari Gema pun sepertinya dia akan bungkam, seolah dia hal yang ingin diketahuinya tadi sudah terjawab semua.

Kuraih jemari Javier. Javier pun akhirnya kembali duduk. "Udah, jangan marah sama gue dong." Perasaanku bertambah gusar saat ini. Aku tidak mungkin membohongi kedua cowok ini terus menerus. "Nanti gue bakal cerita sama kalian, kok. Tapi enggak sekarang."

"Think twice before you act, Na." []

SORRY [slow update]Where stories live. Discover now