4. OMELAN KANJENG RATU

Start from the beginning
                                    

Mata gue membeliak kaget. Bisa-bisanya Aluna mengatakan hal itu dengan suara lantang. Tentunya mereka berdua langsung dibanjiri pandangan tatapan bengis para pengunjung. 

Gue mengusap wajah, frustrasi. "Aduh, Una. Please, jangan error di sini dong."

"Ups, sorry." Aluna menutup mulut. "Keceplosan gue, Le." 

Gue segera pun berdiri meminta maaf dengan membungkukkan badan berkali-kali. "Maaf, Om, Tante. Temen saya ini emang lagi sakit. Jadi susah dikontrol omongannya."

Gue duduk kembali setelah suasana kembali tenang. Ya meski gue tahu ada dua remaja lain yang membicarakan kami. "Una, tunggu gue di luar!" 

"Iya, iya. Sorry, Le. Gue tunggu di depan, ya," katanya sambil buru-buru memasukkan peralatan tulisnya ke dalam tas.

***

Waktu menunjukkan pukul 20.20 saat gue turun dari Ninja di halaman rumah. Atmosfer di sini langsung berubah 100%. Gue menghela napas, lelah. Sudah terbayang dengan apa yang akan terjadi dalam rumah. 

Pak Uus menyambut gue dengan sedikit mengomel. "Aduh, Mas, kenapa baru pulang? Ibu udah ngamuk-ngamuk dari tadi."

Gue menyerahkan kunci motor pada Pak Uus. "Yang penting aku pulang, kan?" 

"Iya sih, Mas." Pak Uus menggaruk-garuk belakang lehernya. "Tapi tadi anak tamunya sampe nangis-nangis gitu karena enggak ketemu Mas Kale."

Gue tersenyum miring. "Ih, lebay banget. Siapa suruh jodoh-jodohin gitu. Emang zaman Belanda. Terus udah pulang kan tamunya?"

"Udah, Mas, beberapa menit yang lalu."

Gue mengangguk-angguk sekenanya seraya mengambil ponsel di saku jaket, lalu berjalan menuju pintu masuk belakang rumah. Karena pasti Mama Papa tengah menunggu gue di balik pintu depan dengan kepala yang siap meledak.

73 PANGGILAN TAK TERJAWAB from KANJENG RATU

"Agresif amat, sih." Gue hanya bisa menghela napas melihat kelakuan Mama. Heran gue. Kenapa tetap maksa, sih? Padahal jelas tadi pagi, gue tolak mentah-mentah. Lalu, terlihat notifikasi WhatsApp masuk dari Aluna.

ALUNA: Jd apaan, Le? Biar gue bs siapin.

Senyum gue mengembang saat membacanya sambil membuka pintu pelan-pelan. Mungkin sebaiknya nanti gue bercerita tentang hal ini pada Aluna.

KALE: Kok lo ngotot gitu sih, Na? 😑

ALUNA: Ya maaf. Gue gak bs tidur, nih.

KALE: Jam segini udah mau tidur?

ALUNA: Capek gue, Le.

Gue buka lemari es dan mengambil botol air mineral. 

KALE: Yaudh tidur aja. Krn lo bsk ngadepin cowok lo satu ini hahaha 😂

Ponsel gue taruh di samping botol, lalu gue ambil gelas. Tenggorokan gue kering. Dan ini adalah pertolongan pertama untuk diri gue.

"Kale!"

Teriakan Mama terdengar tepat saat gue meneguk air. Untuk saja gue sudah memperkirakannya. Jadi, gue terus meneguk air hingga tandas, baru menoleh ke arah Mama.

"Kamu dari mana?" 

"Sekolah."

"Enggak mungkin sekolah sampe jam malam gini. Mama tahu kamu enggak ada jadwal les!"

"Ya terus?" Gue berjalan melewati Mama. 

"Kamu ngapain lagi setelah pulang sekolah? Kamu tahu kan kalo malam ini ada pertemuan. Kenapa enggak langsung pulang, hah?"

"Nganterin Aluna pulang." Gue duduk di kursi makan untuk membuka sepatu.

Sedangkan Mama menghentakkan kaki dengan tergesa mengikuti gue. "Aluna anak pemilik hotel ternama itu?"

"Iya." Gue memutar mata, jengah. Kalau sudah mendengar sesuatu berbau uang saja, mata Mama pasti langsung bersinar. Sebenarnya hidup itu buat apa, sih? Terkadang gue ingin menanyakan hal tersebut pada mereka. Sepertinya ada yang salah tentang pemahaman arti hidup. 

Lalu, suara langkah kaki Papa mendekat. Gue mengangkat kepala. Pandangan gue pun bertemu dengan tatapan geram Papa. Tapi sekarang gue lagi malas banget berbasa-basi lagi karena akan memperpanjang perdebatan. Lebih baik gue melanjutkan langkah ke kamar dan istirahat, kan? 

"Kamu terima perjodohan ini atau semua fasilitas Papa tarik!" 

Papa berkata tegas dari ujung tangga bawah, sementara gue tetap melangkah naik. Gue enggak berniat sama sekali untuk mengindahkan perkataan Papa. Gue akan tetap berpegang pada pendirian gue dan enggak bakal ada yang bisa merusaknya. Meskipun nanti ketika Papa melakukan ancamannya. 

"Kale, jangan bikin Papa malu!" lanjutnya. "Cuma kamu harapan Papa! Papa udah janji dengan dia, Kale! Ini demi nama baik perusahaan kita. Demi masa depan kamu juga."

Gue memutar tubuh, menatap Papa. "Makasih, Pa, udah mikirin masa depan Kale. Tapi aku enggak mau begini caranya."

Rahang Papa mengeras. "Jangan ngikutin jejak Kara, Kale! Dia anak enggak tahu terima kasih!"   

Senyum gue mengembang, lalu berbalik badan, dan melanjutkan langkah menuju kamar. Masih banyak yang mau gue sampaikan ke Papa, tapi gue sudah cukup penat hari ini. Ah, emangnya apa yang Papa tahu tentang anak-anaknya kalau semua hanya dinilai dengan tingkat kekayaan? Bullshit!

Drrrttt... drrrttt...

Baru saja gue melemparkan ponsel ke tempat tidur, benda pipih tersebut bergetar. Gue melepaskan jaket, lalu merebahkan tubuh di atas tempat tidur.

PUTRI RAJA 🤪

Kening gue mengerut melihat tulisan yang tertera di layar ponsel. Tumben banget kakak gue telepon. "Halo."

"Gue hamil, Le."  []

SORRY [slow update]Where stories live. Discover now