#13 Slipdas

2.5K 356 113
                                    


Tentu saja aku tidak langsung pergi.

Hal pertama yang kulakukan adalah mencari pijakan agar Dian tidak menggantung terus-menerus seperti itu. Dia pasti sangat kelelahan. Kutemukan sebuah meja cukup tinggi di seberang ruangan. Meski aku harus tertatih-tatih melewati barisan mayat, aku tetap melakukannya. Dian berteriak dengan sangat tegas, "A! Pergi, A! Jangan lama-lama di sini!"

Aku tak mendengarkan. Aku membawa meja itu ke bawah kaki Dian, sehingga cowok itu bisa berpijak.

"Siapa mayat-mayat ini?!" seruku panik. Bahkan, aku agak-agak ingin menangis.

"A, cepetan pergi dari sini, A. Ini bukan tempat yang aman buat Aa! Pergi dari desa ini!"

"Tapi jelasin dulu, siapa mereka? Dan kenapa tempat ini bahaya?"

Dian seharusnya tampak seksi. Dian memenuhi segala jenis fantasi BDSM yang pernah kubayangkan. Tubuh telanjangnya tampak semakin berotot karena kedua tangannya tertarik ke atas. Namun kali ini aku sedang enggan berpikir mesum. Aku ingin sekali menolong Dian, meskipun pahaku sendiri nyerinya bukan main. Aku tak sanggup memanjat ke atas meja atau melepaskan ikatan tangan Dian di atas sana.

"Mereka semua korban Corona!" seru Dian akhirnya. "Makanya, A! Burukeun! Kabur dari sini, keluar dari desa!"

Aku membelalak mendengarnya.

Korban Covid-19?!

Dibiarkan berjejer dalam satu ruangan, tak terkubur seperti ini?!

Tanpa pembungkus?!

WHAT THE FUCK?!

Apa gunanya aku isolasi dua minggu di kamar sebelah kalau di sini ada puluhan jenazah Covid-19?!

Dian seperti ingin menangis. "Cepat, A! Pergi dari sini. Jangan sampai Aa jadi korban berikutnya."

"Tapi ... tapi kamu—"

"Jangan pikirin saya, A. Saya dihukum di sini supaya saya mati juga karena Corona. Gara-gara saya nyaris ngebocorin informasi penting ke Aa. Tapi Aa harus nyelamatin diri Aa sekarang! Cepat pergi, A!"

Aku malah menangis di tempat dan menggelengkan kepala. "Enggak bisa ...! Saya enggak bisa ninggalin kamu di sini, Mas!"

"Jangan peduliin saya, A! Aa harus peduliin diri Aa sendiri!"

"Kenapa harus saya aja yang meduliin diri saya sendiri?! Kenapa kamu juga enggak peduliin diri kamu sendiri?!"

Dian, masih dengan kedua tangan terikat ke atas, di mana wajahnya sekarang terhimpit ketiaknya sendiri, mencoba menjelaskan kepadaku dengan sabar. "Karena Aa satu-satunya harapan saya, A! Kalau Aa selamat, Aa bisa sebarkan yang sebenarnya soal desa ini ke luar. Negara kita mesti tahu yang sebenarnya!" Suara Dian bergetar. Kulihat tubuhnya berguncang hebat, dadanya kembang kempis. Dian menangis. "Baris empat, ketujuh dari kanan .... Itu keluarga saya semua, A! Keluarga saya sudah mati! Tolong, A .... Aa harus selamat! Cepat kabur dari sini, A!"

Aku ikutan menangis. "Tapi apa yang harus saya sampaikan, Mas? Saya enggak tahu apa-apa!"

"Apa pun! Dunia harus tahu!"

Lalu, dua pintu gudang yang ada di seberang ruangan, terdengar berisik. Seseorang sedang membuka gemboknya dari luar. Pintu itu akan dibuka.

"A ...! Tolong, A ...! Selamatkan diri Aa," seru Dian terakhir kali.

....

Terakhir kali ..., karena aku terpaksa pergi dari gudang itu, kembali ke kamarku yang tadi di mana Nunung masih tergeletak tak sadarkan diri. Sambil menangis tersedu-sedu aku menyeret tubuhku di sepanjang dinding. Kupecahkan kaca jendela kamar, lalu aku merangkak keluar melewati garis kuning polisi yang membentang di sana sini.

KerkhovenDonde viven las historias. Descúbrelo ahora