#3 Balkon

2K 328 86
                                    


- Dinten Katilu –

Sejauh ini, aku menikmati sesi karantinaku. Memasuki hari ketiga, aku merasa ini adalah vacation in disguise. Meja kerjaku berada di sebuah balkon cantik dengan pot-pot bunga besar, pinggir tebing, menghadap pemandangan hutan, sawah, dan perbukitan yang luas. Di sebelah kiriku Gunung Pangrango tampak raksasa dan dekat.

Aku menghabiskan hari kedua karantina menulis konten. Sekitar tiga tulisan berhasil kuselesaikan dalam mood yang sangat baik. Aku menghadiahi diriku dengan sesi minum teh dan biskuit yang menenangkan pukul empat sore. Kebetulan, cuaca sangat cerah kemarin. Kubiarkan diriku bersantai hingga matahari terbenam, terbangun ketika langit sudah gelap dan azan isya bersahutan dari masjid-masjid di area desa.

Hari ketiga, aku bangun agak siang. Matahari sudah tinggi, tidak menerangi kamarku dengan silau lagi. Ketika membuka mata, aku langsung berguling ke arah balkon, mencoba melihat suasana di luar seperti apa. Tirai-tirai putih tipis membuat pandanganku kabur keluar.

Namun, aku menemukan sesuatu yang aneh.

Di luar, di balkon, seseorang sedang duduk di atas kursi yang kududuki sepanjang hari kemarin. Seseorang yang juga sedang asyik minum teh. Aku melihat sikunya naik untuk menyodorkan gelas ke mulut, lalu menyesap minuman hangat yang ada di dalamnya.

Siapa itu? batinku. Apa itu tamu dari kamar lain?

Aku bangkit dengan santai sambil meregangkan tubuhku. Sangat wajar tamu kamar lain bermain-main ke balkonku. Kamarku adalah satu-satunya ruangan dengan balkon. Aku sempat mengobservasi gedung Kerkhoven setelah makan siang. Dari balkonku, kulihat setiap kamar hanya mendapat jendela besar yang diberikan teralis besi dari dalam. Dari halaman rumput luas yang ada di pinggir tebing, ada tangga menurun yang tersambung ke balkon. Sangat mudah bagi seseorang mengakses balkon ini.

Kusapa saja, putusku.

Aku bangkit dan mengambil masker di atas meja. Kubuka pintu kamar dan kulangkahkan kaki keluar.

....

Sosok itu sudah tidak ada.

....

Bahkan, peralatan minum teh yang aku yakin kulihat di atas meja, juga tidak ada. Padahal, aku yakin laki-laki itu masih ada di luar sana ketika aku berjalan ke pintu. Malah, aku ingat dia mengenakan jas hitam dengan rapi. Aku nyaris melihat wajahnya. Dia berkumis tebal.

Aku berjalan mengitari balkon untuk mengecek ke mana perginya sosok itu. Tidak ada tanda-tanda seseorang baru saja pergi dari tempat ini. Wajar sih kalau dia kabur. Waktu aku membuka kunci pintu balkon, suara bukaan kuncinya cukup keras. Bisa jadi dia lari sebelum aku muncul.

Tapi, ke mana?

Sejauh mata memandang, tak ada tanda-tanda seseorang sedang berkeliaran.

Tak ada pula tanda-tanda bekas minum teh di atas meja.

Aku menyentuh tempat duduk yang diduduki sosok tadi ... tempat duduknya masih dingin.

Lah, ke mana ya orang tadi?

Angin dingin berembus di sekitar balkon, mencubit kulitku hingga tubuhku menggigil. Jadi, kuputuskan untuk masuk ke dalam kamar saja. Toh langit hari ini agak kelabu, sama seperti langit pada hari pertama aku tiba di desa ini. Kukunci pintu dari dalam, kemudian aku berdiri lagi di depan jendela, memastikan aku tak salah melihat gara-gara tirai tipis transparan ini. Aku celingukan menatap ke luar jendela dari berbagai sudut, lalu—

"Cari siapa?"

"Argh!"

Aku melompat kaget sambil mencengkram tirai tipis di depanku. Seseorang melongokkan kepala di ambang pintu kamarku.

KerkhovenWhere stories live. Discover now